BeritaDaerahDenpasarHukum dan KriminalLingkungan HidupPemerintahanSosial

Konflik Tanah Adat Jimbaran Seluas 280 Hektar, Warga Tolak Perpanjangan SHGB Dinilai Tidak Sah, Status Tanah Terlantar

Jbm.co.id-DENPASAR | Konflik kepemilikan tanah adat di Desa Adat Jimbaran kembali mencuat, setelah 30 tahun terpendam.

Sebuah gugatan hukum resmi diajukan oleh Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat) Jimbaran terhadap sejumlah perusahaan dan lembaga pemerintah yang dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan seluas 280 hektar.

Gugatan ini diajukan juga oleh Perwakilan Penerima Mandat, I Wayan Bulat, S.H., bersama Tim Kuasa Hukumnya di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin, 3 Pebruari 2025.

Advertisement

Disebutkan, bahwa perpanjangan HGB yang dilakukan sejak 2010 sarat dengan penyalahgunaan wewenang dan tidak sesuai dengan peraturan tentang tanah terlantar.

Sebelum sidang, Warga yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat atau Kepet Adat Jimbaran menyampaikan aspirasi ke Wakil Rakyat di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Senin, 3 Februari 2025.

Sejarah Panjang Sengketa, menurut pihak penggugat, pada 1994, tanah ini dibebaskan oleh Pemerintah dengan alasan kepentingan umum, tetapi dalam prakteknya justru digunakan untuk kepentingan bisnis beberapa perusahaan swasta. Pembebasan ini bahkan dilakukan dengan cara represif, termasuk penggunaan aparat keamanan untuk mengusir warga.

Meski demikian, selama bertahun-tahun masyarakat tetap mempertahankan penguasaan fisik atas sebagian besar lahan, meskipun berulang kali mendapat intimidasi dan pengusiran paksa.

Mereka berpegang pada hak-hak adat dan keberadaan Subak Abian sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali dengan bukti kuat bahwa tanah tersebut masih memiliki hubungan dengan penduduk asli.

Selanjutnya, pada 2010, Pemerintah memperpanjang HGB atas tanah tersebut dengan dalih mendukung penyelenggaraan KTT APEC 2013. Namun, hingga kini, lahan tersebut sebagian besar tetap terbengkalai dan tidak digunakan sebagaimana mestinya.

“Kami menolak perpanjangan HGB yang tidak sah dan dilakukan tanpa mempertimbangkan status tanah sebagai tanah terlantar,” kata I Wayan Bulat.

Sesuai peraturan, lanjutnya tanah yang tidak digunakan selama lebih dari tiga tahun harus dikembalikan kepada negara atau pemilik hak sebelumnya.

Melalui Tim Kuasa Hukumnya, warga Jimbaran menggugat sejumlah pihak, termasuk PT Jimbaran Hijau, PT Citratama Selaras, serta Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali.

Gugatan ini menyoroti berbagai pelanggaran, mulai dari pembebasan tanah dengan kekerasan, penerbitan sertifikat yang tidak sah, hingga praktik penelantaran lahan oleh pihak-pihak terkait.

Dalam tuntutannya, penggugat meminta pengadilan untuk:

1. Membatalkan perpanjangan SHGB yang dianggap melanggar hukum.

2. Mengembalikan tanah kepada pemilik hak lama dan masyarakat adat.

3. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara serta memberikan kompensasi kepada warga terdampak.

Sidang perdana perkara ini diharapkan bisa menjadi preseden penting dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka.

Warga Desa Adat  Jimbaran berharap perjuangan panjang ini bisa mengembalikan hak mereka atas tanah leluhur yang selama puluhan tahun telah menjadi bagian dari sejarah dalam kehidupannya.

Terlebih lagi, kasus kepemilikan  Tanah Desa Adat Jimbaran telah menjadi perhatian publik, karena menyangkut hak masyarakat adat yang selama ini kerap tersingkir oleh proyek-proyek besar. Jika gugatan dikabulkan, hal ini bisa menjadi momentum untuk meninjau kembali berbagai kasus serupa di Bali dan daerah lainnya. (ace).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button