BadungBeritaDaerahKesehatan

BBB Mental Health Care Sediakan Fasilitas Kesehatan Mental Gratis Dilengkapi Layanan Konseling Buat Keluarga

Jbm.co.id-BADUNG | Bali Bersama Bisa (BBB) Mental Health Care merupakan yayasan pertama yang menyediakan fasilitas layanan gratis tentang kesehatan mental dan support group bagi pecandu dalam pemulihan bagi semua masyarakat di Bali, yang berlokasi di Jalan I Wayan Gentuh X Nomor 8, Banjar Kwanji, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.

Layanan gratis tersebut meliputi Asesmen Awal, Rehabilitasi Rawat Jalan 28 Hari, Konselor, Psikiatri, Psikolog, Program Keahlian, Kelompok Dukungan Sebaya hingga Layanan Bisa Helpline.

Ketua Yayasan Bali Bersama Bisa (BBB) Mental Health Care I Wayan Eka Sunya Antara didampingi Operasional Manajer Agus Endrawan menyampaikan, bahwa proses pemulihan tersebut dilakukan Asesmen Awal, agar diketahui kondisi dan keadaan setiap kliennya. Setelah itu, barulah dibuatkan rencana Rehabilitasi Rawat Jalan sesuai prosesnya.

Advertisement

“Berapa lama itu prosesnya, apa saja yang diperlukan, apa perlu Psikiatri, Konseling, Psikolog serta perlu obat. Jadi, dari teamwork itu kita yang akan bekerjasama untuk mempersiapkan Rawat Lanjutannya,” kata Sunya Antara, saat diwawancarai awak media, Sabtu, 20 April 2024.

Namun, untuk tahap awal, ketika ada Asesmen perlu Rehabilitasi Rawat Jalan secara intens dibuatkan program selama 24 hari.

“Hal tersebut, dikarenakan selama 24 hari itu kita ajak teman-teman untuk mulai sadar diri, bahwa saya punya isu, terus dikasi edukasi terkait isunya apa dan cara pemulihannya bagaimana,” paparnya.

Kemudian, pada Minggu ketiga, klien diajak menerima isu tersebut, dikarenakan penerimaan itu sebagai faktor besar menuju pemulihan.

“Minggu keempat, kita fokuskan ngasi tool, cara-cara untuk pulih dan merawat pemulihan,” kata Sunya Antara dengan didukung oleh Psikiater, sekaligus Penasehat BBB Mental Health Care, dr. I Gusti Rai Wiguna, Sp.KJ.

Hal senada juga disampaikan Operasional Manajer Agus Endrawan yang mengatakan, bahwa BBB Mental Health Care membuat tempat yang aman, untuk memberikan kekuatan bagi kelompok yang termarjinalkan.

“Kita merupakan kolaborasi dari 8 yayasan yang termarjinalkan, dimulai dari disabilitas netra, teman-teman survivor dari psichoprenia, teman-teman kanker dan lainnya, itulah kita disini, menyatukan kaum yang termarjinalkan ini untuk menyuarakan lantang eksistensi mereka,” ungkapnya.

Pada Hari Kesehatan Sedunia, 10 Oktober 2020, Komunitas Bali Bersama Bisa didirikan, yang berkumpul dengan keyakinan bersama akan kekuatan persatuan, untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

“Setelah bersatu, awalnya kita ada 12 yayasan yang menjadi bagian komunitas BBB merumuskan visi dan misi dengan tujuan mengembangkan kerjasama memberdayakan kelompok yang terpinggirkan dan menghilangkan stereotip seputar kesehatan mental dan disabilitas,” paparnya.

Disebutkan, ruang komunitas BBB Mental Health Care menjadi satu titik masuk untuk akses gratis dan murah dari berbagai macam layanan kesehatan mental dan kecanduan.

Nantinya, komunitas BBB dan para profesional bersinergi untuk mengadakan lokakarya pelatihan, pengembangan pelatihan dan acara-acara yang berhubungan dengan kesehatan mental, guna mewujudkan mimpi lewat semangat “Bersama Kita Bisa”.

“Melalui PT BKB (Bersama Kami Bisa), kami akan berdayakan masyarakat yang termarjinalkan dengan mendorong mereka untuk berkontribusi melalui usaha mereka sendiri, seperti membuka kedai kopi dan menyediakan ruang untuk menjual produk serta keterampilan seni yang dibuat oleh komunitas kami,” sebutnya.

Sementara itu, Hilman Gobel selaku Direktur Klinik Bali Bersama Bisa Mental Health Care mengatakan, bahwa untuk perawatan klien khusus 28 hari dilakukan. Mengingat, setiap Minggu, pihaknya mempunyai materi berbeda.

Harapannya, jika mereka yang sudah sepakat mengikuti programnya, diharuskan ada komitmen awal, karena mereka itu harus datang, karena tiap-tiap Minggu itu berbeda-beda.

“Program yang kita tekankan tentang perubahan pola pikir dan perilaku, memang metodenya kita itu gunakan,” tegasnya.

Mengingat otak manusia secara ilmiah bisa berubah, dalam arti pola pikir yang berubah setelah 21 hari.

Untuk itu, harus dilakukan suatu repetisi yang positif, sehingga programnya harus 28 hari. “Jadi, satu minggu terakhir itu tinggal mereka action dan meanted,” paparnya.

Setelah itu, lanjutnya ada program Ampere Care yang dilihat setelah perkembangan 28 hari kedepan melalui Monitoring dan Evaluasi. Diharapkan, bagi mereka itu tetap melakukan konseling lanjutan setiap seminggu.

“Bagi mereka yang mendapatkan bantuan treatment dari Psikiatri itu juga mereka tetap harus kita monitor trkait dengan obatnya, karena obat itu memang harus rutin diberikan,” tandasnya.

Dalam fasilitasnya, juga disebutkan program Dimention sebagai faktor support sistem yang sangatlah penting. Meski demikian, pihak keluarga juga bisa menjadi pemicu utama, karena kurangnya informasi dan edukasi untuk keluarga.

“Itu kenapa layanan kami, selain survive kita berikan layanan Konseling, juga kita jadikan Konseling buat keluarga, karena itu impact sama-sama berdampak banget ke orang terdekat. Jadi, tetap emban ini, tetap dengerin survivor kita kasi treatment, keluarga tetap kita juga dengarkan, agar bisa menjadi support sistem yang baik,” tambahnya.

Hal tersebut dikarenakan ketakutan terbesar seorang survivor itu adalah tidak bisa diterima dalam keluarganya lagi. “Gimana nie, kita sudah bagus-bagus kasi program, kasi perawatan, ketika pulang malah tidak diterima keluarganya, maka kita rangkul juga keluarga,” kata Sunya Antara.

Mengingat, pihaknya memiliki empat Konselor, termasuk dirinya, sehingga bisa memberikan Psiko Edukasi untuk keluarganya, sehingga mereka ada support sistem tersendiri, karena merangkul semua pihak.

“Jadi, survivor ada support group dan keluarga juga ada support groupnya. Mereka akan membantu dan memberikan dukungan satu sama lainnya berdasarkan apa yang mereka alami dan rasakan,” pungkasnya.

Kemudian, Hilman Gobel menyebutkan pihaknya mesti menggali lagi terkait kesulitan klien saat mengkonsumsi obat-obatan atau rujukan kembali ke Psikiater terkait keluhan-keluhan yang mungkin mereka dapatkan selama mengkonsumsi obat-obatan.

“Jadi, disitu ada proses evaluasi sama monitoring dan bagi mereka yang sekira belum ada berdaya artinya produktif dalam lingkungan luar, itu kita bantu juga untuk Program Operasional. Kita juga ada program autriks yang berdampak pada saat kembali berkeluarga,” paparnya.

Jika kembali ke lingkungan, lanjutnya dirasakan adanya perubahan. Untuk itu, Hilman Gobel berharap adanya masukan-masukan dengan melibatkan pihak keluarga masing-masing, lantaran keluarga sebagai salah satu support sistem yang paling penting bagi mereka.

“Kita harus ingat juga, keluarga juga memiliki dampak, sehingga langsung kita bantu, dalam arti gencarkan sosialisasi atau konseling demi harapan kita keluarga yang bisa membantu memberikan sosialisasi dan koordinasi juga dengan masyarakat untuk menghindari yang namanya stigma,” pungkasnya. (ace).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button