Tuai Kontroversi, LMND Bali Minta Relokasi FSRU LNG Sidakarya ke Zona Offshore, Dampak Proyek Minim Sesuai Draft Kapal FSRU Berdiameter 570 Meter

Jbm.co.id-DENPASAR | Ketua EW-LMND atau Liga Mahasiswa Nasional untuk Demorkasi Bali I Made Dirgayusa menegaskan Proyek Floating Storage Regasification (FSRU) Liquefield Natural Gas (LNG) Sidakarya di Bali merupakan bagian dari transisi energi nasional menuju target energi bersih 2045.

Namun, proyek ini menuai kontroversi, karena lokasinya berada di kawasan konservasi Tahura Ngurah Rai yang memiliki fungsi ekologis, spiritual, dan sosial penting.
“Dalam analisis yang kami lakukan terdapat banyak kelemahan yang kami temukan dalam ANDAL untuk proyek FSRU LNG yang akan dibangun di kawasan SEKARTANUR (Serangan, Sidakarya, Mertasari, dan Sanur),” kata Made Dirgayusa, saat dikonfirmasi awak media di Denpasar, Senin, 26 Mei 2025.
Berdasarkan Analisis Ekologi dan Keanekaragaman Hayati, lanjutnya Tahura Ngurah Rai memiliki stok karbon 1.023 MgC/ha yang penting dalam menyerap emisi gas rumah kaca, kehilangan 1-2 ha mangrove setara dengan pelepasan ribuan ton CO2.
Ekosistem ini juga berfungsi sebagai nursery ground bagi 78 persen larva ikan ekonomis serta menjadi habitat bagi Elang Bondol (Haliastur indus) dengan populasi <25 ekor dan Gajahan Eurasia (Numenius Arquata) sebagai spesies yang terancam punah dan dilindungi Undang-Undang.
“Pengerukan 3,3 juta m3 sedimen diperkirakan dapat meningkatkan TSS hingga 120 mg/L, mengancam terumbu karang yang sudah mengalami kerusakan berat (tutupan 12 persen) serta Lamun sebagai sumber pakan penyu juga terancam oleh perubahan arus akibat infrastruktur pelabuhan FSRU,” ungkapnya.
Terlebih lagi, Pulau Serangan sebagai salah satu wilayah konservasi penyu akan terdampak langsung di Indonesia, lantaran penyu merupakan hewan yang dilindungi oleh hukum internasional dan oleh hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, penyu termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi dan tidak boleh diburu, ditangkap atau dibunuh kecuali untuk tujuan konservasi.
“Selain itu, penyu juga tercantum dalam Konvensi CITES (Konvensi tentang Tindakan Pencegahan Ekspor, Impor dan Perdagangan Ilegal Satwa Liar) yang menetapkan larangan ekspor, impor dan perdagangan ilegal satwa liar,” terangnya.
Hal tersebut, berdampak Sosial-Ekonomi terhadap Nelayan dan Pariwisata. Mengingat, kelompok nelayan di Serangan berpotensi kehilangan akses hingga 40 persen wilayah tangkap, akibat dibutuhkan ruang manuver kapal FSRU yang berdiameter 570 meter, ditambah akan terjadi penyempitan jalur pelayaran di wilayah Pembangunan FSRU yang berada dilepas pantai.
“Indeks kerentanan nelaryan (LVI) mencapai 0,72 dan 85 persen pendapatan mereka bergantung pada ekosistem mangrove yang tentunya akan terdampak sebagai imbas dari aktivitas drilling serta aktivitas kapal LNG yang mempengaruhi tingkat kekeruhan air,” tegasnya.
Di sektor pariwisata, infrastruktur FSRU yang mencolok, Kapal sebesar 278 M secara visual akan mengurangi nilai estetika dan berpotensi menurunkan jumlah kunjungan wisata di wilayah terdampak.
Dalam ANDAL dicontohkan untuk Kawasan Wisata Pulau Serangan dengan rata-rata wisatawan 400-600 pengunjung per bulan, diasumsikan akan berkurang hingga 200 pengunjung tiap bulannya, belum lagi penurunan pengunjung kawasan wisata pada wilayah terdampak lainnya.
“Dampak ini mengancam penghidupan pekerja lokal yang bekerja di sektor pariwisata dan juga berpengaruh terhadap sektor informal lainnya dalam satu kawasan,” urainya.
Tak kalah pentingnya, Made Dirgayusa menyebutkan rencana pembangunan FSRU LNG Sidakarya juga beresiko terhadap industri, keselamatan dan bencana lokasi, karena proyek berada di zona merah tsunami (ketinggian 4–6 meter).
Menurut InaRISK BNPB ditambah ANDAL FSRU terhadap dampak resiko kecelakaan juga dinilai tidak memenuhi standar internasional yang tertuang dalam regulasi COMAH Nomor 16 yang mengatur tentang domino effect, jika terjadi resiko kecelakaan dari lingkungan sekitar yang berdampak terhadap lokasi FSRU dan terminal LNG. Apalagi, keberadaan FSRU berdekatan dengan lingkungan padat penduduk di Pulau Serangan.
Sementara itu, dilihat dari Dimensi Hukum dan Tata Kelola Proyek, pembangunan FSRU yang berada dalam area lepas pantai menurut RZWP3K merupakan area yang ditetapkan sebagai zona pelabuhan, tetapi pembangunan infrastruktur pendukung pipa gas LNG berada di wilayah Taman Hutan Raya.
Meskipun, hal ini merupakan proyek strategis nasional (PP 22/2021), namun rencana lokasi proyek berada di kawasan konservasi yang dilindungi, sehingga dalam proses perencanaan perlu dilakukan banyak penyesuaian aturan dan hukum yang ada, seperti UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Perda Bali No. 16/2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.
“Proyek yang bersinggungan dengan kawasan lindung harus memiliki AMDAL yang ketat, selain itu keberadaan FSRU LNG dekat kawasan TAHURA Ngurah Rai juga mengancam spesies yang dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 Tahun 2018,” bebernya.
Melihat banyaknya aturan dan perundangan yang harus disesuaikan untuk dapat merealisasikan terlaksananya proyek FSRU dan Jalur pipa gas LNG di sidakarya, maka dapat memberikan paradigma pada masyarakat, bahwa Hukum tidak lagi memiliki Kepastian Hukum.
“Alangkah lebih baik, jika Lokasi FSRU dipindahkan sesuai dengan rekomendasi yaitu; 10KM dari pesisir, maka dalam proses perencanaan baik itu perizinan maupun kelengkapan lainnya maka tidak banyak aturan dan hukum yang harus disesuaikan,” tegasnya.
Untuk itu, Made Dirgayusa memberikan Rekomendasi Strategis dan Solusi dengan melakukan Relokasi FSRU ke Zona Offshore (>10 km dari pantai) merupakan solusi yang tepat dan dapat diterima seluruh pihak, karena dampak proyek FSRU minim.
“Kriteria relokasi tersebut (>10 km dari pantai) sudah sesuai dengan kebutuhan kedalaman laut alami >15 m yang diperlukan untuk draft kapal FSRU serta berada di luar jalur migrasi mamalia laut,” paparnya.
Hal tersebut, dengan melihat pada FSRU di Lampung & Jakarta dapat menjadi Referensi FSRU Offshore yang jaraknya lebih dari 10 KM dari garis pantai.
“Kompensasi berbasis skema Payment for Ecosystem Services (PES), restorasi mangrove 3:1 dan pelibatan masyarakat lokal dalam pemantauan mutu lingkungan juga menjadi strategi penting,” tutupnya. (ace).