BeritaDaerahDenpasarLingkungan HidupPendidikan

Lokasi LNG Sidakarya Perlu Ditinjau Ulang, Arika Setiawan: Bayangkan!!! Taksu Pura Sakenan Serangan Terganggu dalam Bayang-Bayang Kapal FSRU Raksasa

Jbm.co.id-DENPASAR | Pulau Bali disebut bukan hanya sekadar sebidang tanah, tapi warisan leluhur sang suci yang hidup dalam setiap nadi, setiap kidung dan setiap percikan ombak di pesisir lautnya.

“Hari ini, kita dihadapkan pada sebuah rerainan ageng dalam perjalanan kita sebagai semeton Bali. Di satu sisi, dunia menuntut perubahan beralih ke energi yang lebih bersih. Namun, disisi lain, kita mesti bertanya dengan jujur kepada diri sendiri, apa yang akan kita korbankan?,” kata I Putu Widi Arika Setiawan, saat dikonfirmasi awak media di Denpasar, Jumat, 13 Juni 2025.

Menurutnya, rencana pembangunan Terminal Liquefield Natural Gas (LNG) di perairan Sidakarya dan Intaran disebut-sebut demi “Energi Bersih”.

Namun, dibalik narasi itu, ada kegelisahan mendalam: Apakah transisi ini tetap menghaturkan hormat kepada prinsip suci kita, Tri Hita Karana, yang mengajarkan keharmonisan antara sesama manusia (pawongan), alam (palemahan), dan Tuhan (parahyangan)?

Disebut Transisi Energi, tapi harus dengan Taksu dan rasa tanggung jawab sejati.

“Kita setuju bahwa Bali harus beralih ke energi yang lebih bersih. Namun, LNG sebagaimana adanya tetaplah energi fosil, bukan energi bersih sepenuhnya. Diatas kertas, pembangunan terminal ini tampak modern. Namun di baliknya, risiko nyata yang mengintai,” tegasnya.

Disebutkan, kerusakan palemahan, terganggunya terumbu karang dan terganggunya keseimbangan pesisir.
Kahanan sapunapi: ancaman kebocoran industri yang dapat merusak pesisir suci Bali. Sekancan Taksu: terganggunya aura spiritual dari Pura suci, khususnya Pura Sakenan di Pulau Serangan.

Bayangkan!!! Pura Sakenan, linggih Ida Hyang Dewa Baruna, yang selama ini menjadi simbol kekuatan spiritual pesisir Bali, berdiri di hadapan laut luas yang sakral. Jika terminal FSRU raksasa dibangun di lepas pantai itu dengan struktur setinggi lebih dari 50 meter, maka Taksu Pura Sakenan akan tampak terganggu, terhimpit dalam bayang-bayang kapal industri.

Apakah layak tempat persembahyangan suci kita dikerdilkan oleh kemegahan kapal? Apakah kita rela pemandangan suci tempat umat menghadap Ida Bhatara dipagari oleh dinding kapal raksasa?

Bali bukan kawasan industri. Bali adalah gumi suci yang penuh Taksu. Pulau ini tidak lahir dari batu dan semen. Ia lahir dari harmoni antara gunung, laut, manusia dan para dewa.

Jika kita biarkan industrialisasi tanpa pertimbangan Taksu, maka Bali akan kehilangan jiwa yang membuat mata dunia jatuh cinta padanya.

Alternatif yang lebih bijaksana itu ada, teknologi hari ini memungkinkan pembangunan terminal lebih jauh ke tengah laut, dimana dampaknya bisa sangat diminimalkan, dan garis suci pesisir tetap terjaga dari potensi kerusakan besar,” urainya.

Selain itu, Bali berlimpah potensi energi surya dan angin, sumber energi murni yang sejalan dengan Dresta Bali. Untuk itu, Bali membutuhkan kepemimpinan yang mengutamakan warisan, bukan sekadar target proyek.

“Hari ini, dengan penuh hormat, kami mengetuk nurani para pemimpin PLN, Gubernur Bali, para Bendesa Adat di Sidakarya, Intaran, Sanur Kauh, Pedungan, Sesetan, Serangan dan semeton se-jagat tanah Bali. Marilah kita memilih jalan yang menjaga warisan leluhur, bukan jalan pintas yang hanya memuaskan kebutuhan sesaat. Apakah kita ingin generasi mendatang mengecap kita sebagai generasi yang membiarkan pesisir suci dipagari oleh bentangan kapal berskala besar itu? Atau sebagai generasi yang berani berdiri tegak menjaga Taksu Bali tetap bersinar untuk seribu tahun lagi? Bali adalah tanah warisan. Bali adalah tanah persembahan. Bali adalah janji kepada masa depan. Mari kita jaga janji itu bersama-sama,” pungkasnya. (ace).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button