Dewan Pers Indonesia dan SPRI Ajukan 8 Tuntutan kepada Presiden Prabowo: Pers Indonesia Diminta Kembali Sehat, Profesional dan Bebas dari Intervensi

Jbm.co.id-JAKARTA | Dewan Pers Indonesia (DPI) bersama Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) secara resmi menyampaikan delapan tuntutan penting kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Tuntutan ini dinilai sebagai langkah mendesak untuk menjamin kemerdekaan pers, sekaligus menghentikan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Dewan Pers saat ini.

Ketua DPI hasil Kongres Pers Indonesia 2019 yang juga Ketua Umum SPRI, Hence Mandagi menilai kepemimpinan Dewan Pers yang selama ini dijabat tokoh non-wartawan berdampak buruk bagi ekosistem pers nasional.
“Kepemimpinan ini berpotensi merusak etika, independensi dan kredibilitas pers. Lihat saja bagaimana pembiaran eksploitasi isu demonstrasi dan kerusuhan di media mainstream tanpa memperhatikan Kode Etik Jurnalistik,” kata Mandagi, 6 September 2025.
Menurutnya, situasi tersebut bukan hanya merusak opini publik, tetapi juga melemahkan fungsi pers sebagai pilar demokrasi.
Ia menegaskan, tuntutan yang diajukan DPI dan SPRI merupakan suara mayoritas masyarakat pers yang selama ini merasa terdiskriminasi.
Delapan Tuntutan DPI dan SPRI
1. Perlindungan hak wartawan untuk bebas memilih organisasi sesuai amanat UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
2. Kesempatan setara bagi wartawan non-konstituen untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Pers.
3. Pelibatan organisasi pers non-konstituen dalam pengajuan dan pemilihan anggota Dewan Pers.
4. Pembatalan peraturan sepihak yang dikeluarkan Dewan Pers terkait organisasi konstituen.
5. Pembatalan SK Presiden tentang hasil pemilihan anggota Dewan Pers periode 2025–2028 karena dianggap menghilangkan hak wartawan non-konstituen.
6. Penindakan praktik sertifikasi ilegal kompetensi wartawan tanpa lisensi resmi dari BNSP.
7. Penertiban kewenangan lembaga uji kompetensi, dengan meminta BNSP mengambil alih fungsi tersebut.
8. Dukungan pemerintah menata ulang Dewan Pers, termasuk membersihkan dari elit dan eks pejabat yang diduga memanfaatkan posisinya
Mandagi menegaskan, praktek regulasi sepihak membuat wartawan seolah dipaksa memilih organisasi konstituen Dewan Pers.
Padahal, pasal 7 UU Pers dengan jelas menyebutkan wartawan bebas menentukan organisasinya.
“Pers seharusnya dikendalikan oleh masyarakat pers, bukan oleh kelompok elit atau penumpang gelap,” katanya.
Lebih jauh, ia menilai belanja iklan nasional yang tersentralisasi pada konglomerasi media besar memperburuk ketimpangan. Media lokal dibiarkan terpinggirkan, sementara kerjasama publikasi dengan pemerintah hanya dinikmati segelintir media terverifikasi.
“Inilah yang menyebabkan pengawasan terhadap kepala daerah dan pejabat pusat melemah, sehingga korupsi makin menjamur,” tegas Mandagi.
DPI dan SPRI berharap Presiden Prabowo segera mengambil langkah tegas agar pers Indonesia kembali sehat, profesional, dan bebas dari intervensi kelompok tertentu.
“Selamatkan pers Indonesia dari elit dan eks pejabat yang tidak pernah berpengalaman di dunia pers. Jangan biarkan pers dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan mafia migas, koruptor, dan pengusaha nakal,” pungkas Mandagi.
Sebagai informasi, Dewan Pers Indonesia merupakan wadah komunikasi berbagai organisasi pers dibawah Sekretariat Bersama Pers Indonesia yang pada 2018 menggelar Musyawarah Besar Pers Indonesia di TMII, dan pada 2019 melanjutkan dengan Kongres Pers Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede.
Sementara itu, SPRI berdiri sejak 1998 dan dideklarasikan pada 2000 di Jakarta, bahkan ikut terlibat dalam penyusunan draft UU Pers 1999. (red/tim).