Agung Aryawan: Renungan Panjang Buat Pariwisata Bali

Jbm.co.id-DENPASAR | Ribuan wisatawan, baik mancanegara maupun domestik menghabiskan waktu liburan Lebaran di Pulau Dewata.
Ironisnya, saat suasana liburan, wisatawan mendapati Bali telah berubah secara drastis dari apa yang seharusnya bisa diekspektasi sebagai destinasi wisata yang berkelanjutan.
Menyikapi hal tersebut, Anak Agung Gede Agung Aryawan selaku pengamat sosial politik di Bali menyoroti kondisi Bali, yang selama ini dikenal sebagai tujuan wisata dunia dan pulau Dewata, kini telah berubah secara masif dan menghadapi tantangan besar yang berpotensi merusak citra dan daya tariknya sebagai pulau yang identik dengan wisata tradisi, budaya dan keindahan alam.

Ditambah lagi, kemacetan di pusat-pusat wisata, seperti Canggu, Seminyak, Legian, Kuta, Uluwatu, Ubud, dan Nusa Dua semakin parah, memperlihatkan bagaimana pembangunan infrastruktur tertinggal jauh dibandingkan lonjakan jumlah wisatawan dan ekspansi industri pariwisata.
“Jalan-jalan yang sempit dan tidak dirancang untuk menampung lonjakan kendaraan kini dipadati oleh mobil pribadi, Rent Car Mobil Mewah, Taksi Pangkalan, Taxi Online dan Sepeda Motor wisatawan,” kata Agung Aryawan.
Tanpa perencanaan matang dan terpadu, lanjutnya Bali terancam menjadi korban kesuksesannya sendiri, saat pariwisata berkembang pesat, tetapi infrastruktur tidak mampu mengimbangi.
Tak hanya itu, Hotel, Villa, Beach Club dan Resort Mewah bermunculan dengan cepat, terutama di kawasan wisata premium. Namun, pembangunan fasilitas publik yang seharusnya mengiringi pesatnya pertumbuhan ini justru tidak didukung oleh transportasi umum yang memadai, tempat parkir yang cukup atau jalur pedestrian yang nyaman. Bahkan, pengelolaan sampah dan air bersih pun seringkali menjadi masalah yang diabaikan.
Lebih buruk lagi, banyak akomodasi wisata yang beroperasi tanpa izin resmi untuk menghindari pajak, yang menyebabkan potensi pendapatan daerah yang hilang begitu besar. Usaha ilegal milik investor asing yang memakai nama warga lokal sebagai “boneka hukum” atau nominee masih marak terjadi, menyebabkan kebocoran pajak yang merugikan pemerintah daerah dan masyarakat Bali sendiri.
Semestinya, Pemerintah Provinsi Bali dan Daerah Tingkat Dua mengambil langkah tegas untuk melakukan penindakan tegas pembangunan akomodasi dan fasilitas hiburan pariwisata bodong tanpa izin.
“Bahkan, yang memiliki izin pun banyak melanggar aturan, seperti sempadan jalan habis sehingga usaha tidak memiliki area parkir bongkar muat barang memadai, Hotel dan Usaha lainnya berdiri megah dapat izin, padahal melanggar Bhisama PHDI Radius Kesucian Pura,” tegasnya.
Belum lagi terbitnya izin Alfamart Indomaret dan sejenisnya yang berdekatan dengan Pasar Tradisional yang jelas melanggar aturan.
Terlebih lagi, badan sungai menjadi usaha dengan IMB hingga semua pelanggaran aturan mendapatkan izin, yang diduga maraknya suap oleh oknum Pejabat Koruptor dari berbagai lini.
Apalagi, gelombang pendatang dari luar Bali, terutama tenaga kasar tidak bisa dihalangi, karena makin berkurangnya orang Bali yang mau menjadi kuli tenaga kasar, seperti buruh bangunan, pemulung sampah atau pembersih WC Tersumbat.
Tak hanya itu, pekerja asing ilegal juga makin marak di Bali, terutama di bidang yang sebenarnya bisa diisi oleh tenaga kerja lokal, dimulai dari instruktur selancar, pemandu wisata hingga tenaga kreatif di industri hiburan sampai posisi puncak perhotelan banyak posisi yang diambil oleh pekerja asing tanpa izin kerja yang sah.
“Ini bukan hanya merugikan tenaga kerja lokal, tetapi juga merusak sistem ekonomi yang sehat dan berkeadilan,” terangnya.
Hal tersebut disebabkan adanya kepentingan Politisi mendulang suara dengan menjadi Bekingan Siswa Sekolah Negeri Jalur Belakang Titipan Curang, yang pada akhirnya SDM Generasi Muda Bali menjadi terpuruk kualitasnya.
Bahkan, SDM yang lahir menjadi manja dan sangat lemah jiwa kompetisinya. SDM Rendah ini akhirnya menjadi Pegawai Kontrak Pemerintah atau Perumda yang Gaji nya rendah dibawah UMK, karena kalah bersaing dengan SDM Luar Bali bahkan Asing yang mencari kerja di Bali.
“Sejak diberlakukan pungutan sebesar 10 USD per turis asing ke Bali melalui system online, banyak yang bertanya-tanya: kemana uang itu digunakan? Bagaimana mekanisme ditribusinya untuk penguatan pariwisata Bali? Dana ini memang dirancang dan dialokasikan untuk pelestarian budaya, infrastruktur pariwisata, dan peningkatan fasilitas umum. Namun, minimnya transparansi dalam pengelolaan dana ini justru menimbulkan kecurigaan penggunaan anggaran tersebut,” urainya.
Selain itu, Pajak Hotel dan Restoran (PHR) yang seharusnya dikembalikan untuk pembangunan fasilitas pendukung pariwisata juga tidak terlihat dampaknya. Seharusnya dengan PB1 melimpah itu, Pemerintah Daerah dapat secara luas dan terbuka melakukan inovasi dan pembangunan untuk menunjang pariwisata yang berkelanjutan, terutama perbaikan infrasturuktur, fasilitas umum, sekolah dan rumah sakit untuk pariwisata berkelanjutan.
Kini, Bali berada di persimpangan jalan diantara menjadi destinasi wisata yang dikelola dengan baik dan berkelanjutan, atau justru terbenam dalam kemacetan, regulasi yang lemah serta eksploitasi oleh pemodal asing yang tidak bertanggung jawab.
Jika tidak segera ditangani, lanjutnya Bali tidak akan lagi menjadi destinasi impian melainkan surga bagi segelintir orang dan mimpi buruk bagi penduduk lokal.
“Pariwisata memang mengangkat Bali ke puncak dunia, tetapi tanpa regulasi dan pengelolaan yang baik, Bali bisa tenggelam oleh industrinya sendiri,” pungkasnya. (red/tim).