BeritaDaerahDenpasarHukum dan KriminalPemerintahan

Kotak Pandora Tanah Milik Warga Desa Adat Jimbaran Seluas 280 Hektar Kondisi Terlantar Selama  30 Tahun

Jbm.co.id-DENPASAR | Setelah terpendam selama 30 tahun, Kotak Pandora mulai dibuka atas tanah Hak Milik 130 orang yang tergabung dalam lima kelompok Desa Adat Jimbaran dikuasai sejumlah Perusahaan Terbatas (PT), yang hingga saat ini kondisinya masih terlantar dan terbelangkalai.

Tak tanggung-tanggung, mereka yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat atau Kepet Adat Jimbaran menyampaikan aspirasi ke Wakil Rakyat di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Senin, 3 Pebruari 2025.

Selanjutnya, I Wayan Bulat, S.H., (Laki-Laki, 68 tahun) selaku Perwakilan Kelompok Penerima Mandat yang juga disebut Penggugat langsung mengajukan Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum atau Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).

Advertisement

Penerima Mandat Kesatuan Penyelamat Tanah Adat atau Kepet Adat Jimbaran I Wayan Bulat menyampaikan proses perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas lahan/tanah seluas 280 hektar pada tahun 2010 di Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali diduga dilakukan secara melawan hukum. Sebab, ketika diperpanjang, sebagian besar lahan tersebut dalam kondisi terlantar.

“Adanya penyalahgunaan Surat Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur Bali dan pejabat lainnya, bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk sarana-prasarana kegiatan multilateral yang diselenggarakan pada tahun 2013. Namun, hingga saat ini di lokasi tidak ada pembangunan sebagaimana dimaksud,” tegasnya.

Untuk itu, lanjutnya patut diduga perpanjangan HGB dipaksakan, karena sebelumnya ada Surat Penetapan Indikası Tanah Terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional, sehingga sepatutnya tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik hak-hak lama, bukan justru diperpanjang SHGB.

“Dapat kami sampaikan juga, bahwa kami sedang menempuh upaya hukum Perdata dan Pidana dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat,” kata Wayan Bulat.

Lewat para Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum BKO yang beralamat di Jalan By Pas Ngurah Rai 88, Jimbaran, Kabupaten Badung, Perwakilan Kelompok Desa Adat Jimbaran menggugat sejumlah PT berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 September 2024 di Pengadilan Negeri Denpasar, Jalan PB Soedirman Nomor 1 Denpasar, Senin, 3 Pebruari 2025.

Kuasa Hukum Penggugat, I Nyoman Wirama, S.H., didampingi oleh I Wayan Adi Aryanta, S.E.,S.H.,M.H., I Ketut Sukardiyasa, S.H., DR. I Wayan Majuarsa, S.H.,S.Sos.,M.M., dan I Made Widiasa, S.H., menyatakan Sidang Perdana digelar berdasarkan Nomor Perkara 142/Pdt.G/2025/PN Dps.

Tak tanggung-tanggung, lima (5) Perwakilan Kelompok (Class Action) Desa Adat Jimbaran yang tergabung dalam Kepet Adat Jimbaran terdiri dari:
1. Penyakap adalah kelompok masyarakat yang merupakan warga penyakap tanah ayahan Desa Adat Jimbaran yang memiliki surat pengelaga dari Desa Adat Jimbaran.
2. Waris Penyakap adalah kelompok masyarakat yang merupakan ahli waris dari warga penyakap tanah ayahan Desa Adat Jimbaran yang memiliki surat pengelaga dari Desa Adat Jimbaran.
3. Pemilik Lama adalah masyarakat yang memiliki hak-hak lama atas tanah dan/atau masyarakat yang pernah melakukan penguasaan fisik sporadik secara beritikad baik pada objek sengketa.
4. Krama Desa Adat adalah Krama Desa Adat (anggota/masyarakat Desa Adat Jimbaran dan Desa Adat sekitarnya) yang berkepentingan terhadap objek sengketa.
5. Krama Subak adalah masyarakat petani tradisional yang tergabung sebagai anggota sejumlah Subak Abian di lokasi objek sengketa.

“Subak Abian merupakan salah satu kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali yang diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” terangnya.

Sementara itu, lanjutnya sejumlah PT yang digugat oleh 5 Perwakilan Kelompok adalah PT Jimbaran Hijau berkedudukan di Perkantoran Griya Jimbaran Hub, Jalan Karangmas, Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali disebut sebagai Tergugat I.

Selain itu, PT Citratama Selaras berkedudukan di Jalan Hayam Wuruk nomor 6, Sumerta Kelod, Denpasar, Kota Denpasar, Provinsi Bali, yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat II.

Tak hanya itu, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali beralamat di Jalan Tjok Agung Tresna Nomor 7, Niti Mandala Renon, Denpasar, Bali juga masuk sebagai Tergugat III.

“PT Baruna Realty (Greenwoods Group) beralamat di Jalan TB Simatupang No.12, RT.1/RW.8, Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan, Jakarta masuk Tergugat IV dan juga Kantor Pertanahan Kabupaten Badung beralamat di Jalan Dewi Saraswati Nomor 3, Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, yang selanjutnya disebut sebagai Turut Tergugat,” urainya.

Kuasa Hukum Penggugat, I Nyoman Wirama, S.H., menyebutkan duduk persoalan dalam mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum/ Perwakilan Kelompok ini adalah pada tahun 1994, saat Pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan alasan, untuk kepentingan umum.

Namun, pembebasan lahan tersebut dilakukan dengan cara-cara represif dan kekerasan serta menggunakan aparatur negara.

Menariknya, pembebasan lahan dengan kekerasan yang awalnya dikatakan untuk kepentingan umum, ternyata ditumpangi kepentingan bisnis pribadi.

Anehnya lagi, lahan Para Penggugat yang dibebaskan, justru diterbitkan sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

“Bahwa diantara SHGB yang terbit, diantaranya yang berhasil ditelusuri oleh Penggugat, yaitu SHGB nomor 370/Jimbaran, SHGB nomor 371/Jimbaran, SHGB 372/Jimbaran, SHGB nomor 188/Jimbaran, SHGB nomor 190/Jimbaran, SHGB nomor 192/Jimbaran, SHGB nomor 193/Jimbaran, SHGB nomor 189/Jimbaran, SHGB nomor 1069/Jimbaran, SHGB nomor 386/Jimbaran, SHGB nomor 4138/Jimbaran, SHGB nomor 4137/Jimbaran,” bebernya.

Selain SHGB tersebut patut diduga masih ada SHGB lainnya yang diterbitkan, namun belum berhasil ditelusuri oleh Penggugat, lantaran SHGB tersebut patut diduga sudah ada turunan dan pecahannya.

“Bahwa Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut diterbitkan atas nama PT Citratama Selaras selaku Tergugat II,” paparnya.

Pasalnya, penerbitan SHGB tersebut patut diduga melibatkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali (Tergugat III), dengan menyetujui penerbitan SHGB berdasar pelepasan hak dari Desa Adat dan Kelurahan.

Padahal, Para Penggugat sudah menguasai lahan tersebut dengan beritikad baik selama puluhan tahun dan turun-temurun, sehingga lahan tersebut sepatutnya menjadi hak Para Penggugat dan bukan hak Desa Adat ataupun Kelurahan.

“Penguasaan Yuridis sejumlah bidang lahan tersebut kemudian dialihkan oleh Tergugat II kepada PT Jimbaran Hijau sebagai Tergugat I,” urainya.

Berdasarkan SHGB-SHGB tersebut dengan dengan luas total 280 hektar, lanjutnya diperpanjang dengan Surat Keputusan Presiden tentang Pembentukan Panitia Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC dan SK Menteri Pariwisata selaku Ketua Panitia APEC antara tahun 2010 hingga 2013.

Sebelum diperpanjang dengan KTT APEC tersebut, sebagian besar dari 280 hektar lahan tersebut sudah ditetapkan sebagai lahan terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Setelah SHGB diperpanjang, sebagian besar lahan tersebut pada kenyataannya masih terlantar, tidak digunakan sama sekali hingga tidak digunakan sebagaimana peruntukannya.

Terlebih lagi, setelah SHGB diperpanjang untuk keperluan sarana-prasarana dan fasilitas KTT APEC, pada kenyataannya hingga saat ini sebagian besar lahan masih kosong, terlantar dan tidak ada fasilitas yang digunakan sebagai sarana prasarana KTT APEC 2013.

Apalagi, PT Jimbaran Hijau sebagai Tergugat I kemudian melakukan kerjasama pengelolaan dan penjualan perumahan dengan PT Baruna Realty (Greenwoods Group) selaku Tergugat IV.

Fakta ini, lanjutnya memperkuat dalil, bahwa walau ada lahan yang dipergunakan, namun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya sebagai sarana prasarana KTT APEC.

Meski Penguasaan Yuridis dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II, namun Penguasaan Fisik pada sebagian besar lahan tetap dilakukan oleh Penggugat.

Walau sering diusir dengan cara kekerasan, Para Penggugat bersama orangtua dan keluarga terus mempertahankan penguasaan fisik atas sebagian bidang-bidang tanah tersebut.

Anehnya lagi, walau sudah dibebaskan dengan menggunakan cara kekerasan sejak 1997, kemudian diperpanjang secara melanggar hukum pada 2010 hingga 2013, Tergugat hingga saat ini tidak menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan umum dan/atau untuk keperluan sarana prasarana KTT APEC, sehingga Tergugat melakukan sejumlah perbuatan melanggar hukum.

Hal tersebut dinyatakan Perbuatan Melanggar Hukum yang berkaitan dengan Pembebasan Lahan dengan penggunaan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia, dengan uraian Committee on Economic, Social and Cultural Rights berpendapat dalam Poin Ketiga General Comment Nomor 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant) bahwa: Forced eviction is the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.

Apabila diterjemahkan secara bebas, penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.

Selain itu, Pasal 11 ayat (1) yang dimaksud dalam judul dokumen di atas adalah Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (UU 11/2005) diterangkan bahwa Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.

“Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela,” tambahnya.

Hal tersebut diperkuat pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (UUD 1945) menerangkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

“Apabila uraian-uraian di atas dibaca secara komprehensif, menurut hemat Penggugat, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat,” tegasnya.

Disebutkan, bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU 2/2012).

Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

“Bahwa penggusuran atau pembebasan lahan yang awalnya dikatakan untuk kepentingan umum, kemudian berubah untuk kepentingan pribadi segelintir pengusaha yang dekat dengan kekuasaan,” imbuhnya.

Menurutnya, terdapat unsur perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan penelantaran lahan tercantum pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang selengkapnya berbunyi terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai.

“Sehingga dapat disimpulkan, bahwa Tergugat memang benar menelantarkan lahan yang diberikan oleh negara kepada mereka. Perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan daluwarsa hubungan hukum antara Tergugat dengan Objek Sengketa,” sebutnya.

Hal tersebut juga dipaparkan pada Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selengkapnya berbunyi Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

“Daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang,” tuturnya.

Dapat dipahami, karena lahan yang dibebaskan dari warga pemilik atas hak sebelumnya, namun perusahaan yang diberikan hak kemudian tidak memanfaatkan lahan yang diberikan oleh Negara.

Hingga saat ini, lanjutnya hak perusahaan terhadap lahan tersebut adalah daluwarsa dan pemilik alas hak sebelumnya berhak untuk mengambil/mendapatkan kembali hak-haknya atas tanah tersebut.

Oleh karena itu, terdapat
perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan pendaftaran hak atas tanah, yang disebutkan pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang selengkapnya berbunyi, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Begitu pula, dipaparkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dinyatakan, “Jika seorang pemilik tanah tidak memiliki bukti-bukti tertulis, yang bersangkutan bisa mendaftarkan tanahnya asalkan sesuai dengan ketentuan yaitu (1) Harus menguasai tanah (yang akan disertifikasi) itu berturut-turut selama lebih dari 20 tahun; (2) Beritikad baik; (3) Orang-orang di sekitar itu tidak keberatan; dan (4) Tanah tersebut tidak dalam sengketa”.

“Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di seluruh wilayah Republik Indonesia, guna melaksanakan perintah Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria (UPPA) No.5/1960, guna menjamin kepastian hukum tentang status hukum kepemilikan tanah di wilayah Negara RI dan menganut sistem publikasi negatif yang lebih adil karena menghargai kepemilikan tanah adat, dan Negara atau orang yang kehilangan hak tanahnya karena dicaplok, bisa mendapatkan kembali haknya,” jelasnya.

Menyikapi uraian tersebut, terdapat sengketa hak antara Para Penggugat dengan Tergugat, yang sesungguhnya Para Penggugat adalah pihak yang lebih berhak atas lahan objek sengketa.

Oleh karena sengketa dalam Perkara Aquo adalah Perkara Sengketa Hak, maka sudah sepatutnya Pengadilan Negeri mengadili dan memutus perkara Aquo berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 22/K/TUN/1998 jo 16K/TUN/2000 jo 93/K/TUN/1996.

“Berdasarkan uraian Posita tersebut, pihaknya Kami mohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Denpasar atau Majelis Hakim yang menyidangkan perkara Aquo untuk berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya serta menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum,” tegasnya.

Dinyatakan pula, bahwa Tergugat III dan Tergugat IV terlibat dalam Perbuatan Melanggar Hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II.

Tak hanya itu, juga dinyatakan, bahwa Penggugat memiliki Hak pada bidang tanah yang kini telah terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan diperpanjang dengan SK KTT APEC Pada 2010 hingga 2013,namun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya.

Ditegaskan pula, bahwa SHGB yang diperpanjang dengan SK KTT APEC, namun tidak dipergunakan sebagaimana peruntukannya adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehingga wajib dikembalikan kepada Negara, Desa Adat dan Pemilik Hak-Hak lama lainnya.

Untuk itu, pihaknya memerintahkan kepada Turut Tergugat agar mematuhi putusan perkara aquo.

Selain itu, juga pihaknya memerintahkan, agar putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), walaupun Tergugat melakukan upaya hukum perlawanan (verzet), Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

“Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim berpendapat lain, mohon untuk menjatuhkan Putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono),” pungkasnya. (ace).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button