Putu Suasta Akui Prof. Dewa Gede Palguna Sahabat Lama Dirikan LSM Forum Merah Putih, Guru Besar Cerdas dan Berintegritas Hingga Jadi Ketua MKMK

Jbm.co.id-BADUNG | Putu Suasta dan Dewa Gede Palguna bersama-sama mengurus LSM Forum Merah Putih, sejak tahun 1990, yang tetap semangat dan konsisten membela hak-hak publik, demokrasi, pluralisme dan NKRI.
“Kami mendemo, mengkritik penyelewengan tanah-tanah negara, alih fungsi lahan, pensertifikatan hutan bakau menjadi tanah pribadi, penyelewengan Pajak Hotel dan Restoran (PHR),” kata Putu Suasta, saat menghadiri Sidang Terbuka Senat Universitas Udayana dalam rangka upacara akademik “Pengukuhan Guru Besar Tetap Universitas Udayana” di Auditorium Widya Sabha Kampus Universitas Udayana, Jimbaran, Kabupaten Badung, Sabtu, 30 November 2024.

Patut diketahui, bahwa Putu Suasta merupakan seorang Pengelana Global yang Alumni UGM dan Cornell University bersahabat lama dengan Prof. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum yang kini sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana ( FH Unud) dan menjabat sebagai Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Sejak dulu, Putu Suasta dan Prof. Dewa Gede Palguna telah mengusulkan Pajak Hotel dan Restoran (PHR) secara online dengan memanfaatkan digital.
Hal tersebut, yang membantu untuk mensinergikan jaringan LSM, Yayasan Wisnu, LBH bali, Yayasan Manik Kaya Kauci, Yayasan Mitra Bali dan lainnya.
“Pake teknologi digital, membukukan laporan publik dari Forum Merah Putih menjadi sebuah buku dengan nama menegakkan demokrasi, mengawal perubahan, juga waktu Saya nulis buku Mendobrak Kebekuan, ide-ide Palguna dalam dialog Forum Merah Putih banyak mewarnai buku itu,” terangnya.
Kemudian, Prof. Dewa Gede Palguna menjadi anggota MPR yang terus bertugas di Jakarta.
Diakui, Prof. Dewa Gede Palguna selalu konsisten dengan perjuangan publik, hidup sederhana, tidak banyak gaya, selalu membantu, hangat dan kawannya banyak.
“Saya dan Palguna, waktu masih ngurus LSM Merah Putih, sering diskusi dengan Pak SBY yang waktu itu masih Menkopolhukam. Diskusi tentang demokrasi dan ketahanan sosial, sampai Bapak SBY jadi Presiden RI,” paparnya.
Tak hanya itu, Prof. Dewa Gede Palguna dengan pengalamannya selama 10 Tahun di MK, yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang sangat luas tentang NKRI dan menjaga konstitusi NKRI.
“Dari semua tarikan ideologi dan politik, Palguna mempunyai kualifikasi yang tinggi sebagai Guru Besar FH Unud, cerdas dan berintegritas,” tegasnya.
Sementara itu, Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara FH Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum., memaparkan Orasi Ilmiah yang berjudul Mahkamah Konstitusi (MK) dan Masa Depan Negara Demokrasi yang Berdasar atas Hukum di Indonesia.
Menurutnya, tidak ada masa depan yang cerah bagi negara demokrasi yang berdasar atas hukum di Indonesia tanpa hadirnya Mahkamah Konstitusi (MK) yang berintegritas.
Apabila Integritas sudah tertanam kuat di Mahkamah Konstitusi sebagai institusi, prinsip-prinsip yang lain dalam Bangalore Principles of Judicial Conduct maupun dalam Sapta Karsa Hutama terserap dengan sendirinya.
Sebab, ketika integritas kelembagaan Mahkamah Konstitusi itu telah tertanam dan dipegang teguh, yaitu (minimal) bahwa Mahkamah Konstitusi mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara unimpared dan uncorrupted sehingga mendapatkan public trurt dan public conficence.
“Keadaan demikian, hanya mungkin tercapai jika Mahkamah Konstitusi benar-benar independen, imparsial, memegang teguh kepantasan dan kesopanan, memperlakukan pihak-pihak secara setara (equal), bertindak cakap dan saksama serta arif-bijaksana,” jelasnya.
Hal itu tampak jelas dari fakta bahwa impian visioner tersebut ditempatkan pada “Roh” UUD 1945, yaitu Pembukaan, yang diekspresikan dengan istilah “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”, istilah yang dalam konteks kekinian merupakan sebutan lain dari negara demokrasi yang berdasar atas hukum.
Dengan demikian, pada analisis terakhir, hal yang dipertaruhkan jika kehilangan Mahkamah Konstitusi yang berintegritas adalah tujuan mendirikan negara-bangsa yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ciri utama negara demokrasi yang berdasar atas hukum adalah Constitutionalism, istilah yang dalam keluasan ruang lingkup pengertiannya terkandung tujuan mencegah terjadinya pemerintahan yang sewenang-wenang.
Ada dua model yang dipraktekkan oleh negara-negara di dunia untuk mewujudkan tujuan itu meliputi Parliamentary Model dan Constitutional Model.
Disebutkan, Indonesia memilih Constitutional Model. Dalam model ini berlaku prinsip supremasi konstitusi, prinsip yang menempatkan konstitusi sebagai hukum fundamental dan karena itu seluruh praktek kehidupan bernegara harus didasarkan atas dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
“Pertanyaannya, bagaimana menjamin hal itu? Itulah alasan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, yaitu untuk menegakkan Konstitusi, menegakkan UUD 1945,” terangnya.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi diberi julukan sebagai “Pengawal Konstitusi”, yang tercermin dalam kewenangan penting dan mendasar yang dimilikinya.
“Melaksanakan fungsi mengawal Konstitusi adalah tugas mulia namun sungguh berat. Karena itulah, UUD 1945, Pasal 24C ayat (5), memberikan syarat yang istimewa untuk menjadi hakim konstitusi, yaitu harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara,” tambahnya.
Sayangnya, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, meskipun sudah tiga kali mengalami perubahan, tampaknya sama sekali tidak tertarik untuk menjabarkan lebih jauh amanat tersebut.
Meskipun tidak serta-merta berarti bahwa ketiadaan penjabaran dimaksud menjadikan hakim yang terpilih tidak sesuai dengan harapan.
Faktanya, sejak didirikan banyak landmark decsisions yang dihasilkan, termasuk putusan Mahkamah Kostitusi beberapa bulan terakhir ini.
Misalnya, putusan tentang UU Ciptaker, putusan tentang ambang batas pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang telah menggelorakan kembali semangat demokrasi dan kedaulatan rakyat yang lama redup.
Hanya saja, ketiadaan penjabaran syarat itu telah menjadikan hakim yang terpilih maupun lembaga negara yang memilihnya membawa beban psikologis, karena publik tetap saja akan bertanya-tanya tentang bagaimana dan mengapa seseorang bisa terpilih sebagai Hakim Konstitusi dan itu bukan karena salah orang yang dipilih melainkan karena sumirnya aturan. Inilah pekerjaan rumah serius yang kita hadapi jika hendak sungguh-sungguh mewujudkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang berdasar atas hukum.
“Sayangnya, hingga saat ini, saya belum melihat tanda-tanda bahwa pembentuk undang-undang memandang ini sebagai pekerjaan rumah yang serius,” ungkapnya.
Bahkan, Prof. Dewa Gede Palguna menenteskan air mata menceritakan perjalanannya menuju jabatan akademik tertinggi ini dikelilingi oleh banyak sekali orang baik.
“Kini pun masih sebagai Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Harusnya berakhir 31 Desember ini. Hanya saja, karena ada Pilkada, saya diminta agar mau diperpanjang sampai Maret 2025,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Prof. Dewa Gede Palguna dikenal sebagai Hakim Konstitusi dengan rekam jejak panjang dalam dunia hukum dan akademik. Bersama istri, I Gusti Ayu Shri Trisnawati, Prof. Dewa Gede Palguna membina keluarga harmonis dengan tiga anak, yaitu I Dewa Ayu Maheswari Adiananda, I Dewa Made Khrisna Wiwekananda dan I Dewa Ayu Adiswari Paramitananda.
Pengukuhan sosok yang pernah menjadi penyiar radio ini sekaligus menjadi momen bersejarah, yang mencerminkan dedikasi Prof. Palguna terhadap dunia hukum dan pendidikan di Indonesia.
Riwayat pendidikannya, dimulai dari Sekolah Dasar Pengiangan, Bangli (1974)
SLUB I Perguruan Rakyat Saraswati Denpasar (1977), SLUA I Perguruan Rakyat Saraswati Denpasar (1981), S-1 dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bidang Kajian Utama Hukum Tata Negara (1987), S-2 Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bidang Kajian Utama Hukum International (1994) dan S-3 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Bidang Kajian Hukum Tata Negara.
Acara Pengukuhan Guru Besar Tetap Universitas Udayana ini dihadiri oleh Gubernur Bali dua periode 2008-2018, Komjen Pol (Purn) DR. Made Mangku Pastika sekaligus mantan Anggota DPD RI Dapil Bali serta turut hadir Penglingsir Puri Ageng Mengwi dan juga Mantan Bupati Badung dua periode 2005-2015, Anak Agung Gde Agung, yang sekaligus Mantan Anggota DPD RI Dapil Bali periode 2019-2024, Hakim Konstitusi Prof. Arif Hidayat, Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Prof. Dr. Drs I Nengah Duija, M.Si, Dosen UHN I Gusti Bagus Sugriwa Dr. I Gede Sutarya, Drs I Ketut Donder, Mag., Ph.D, Ketua NCPI Bali Agus Maha Usadha, Ketua Prajaniti Bali Dr Wayan Sayoga, Arsitek Nyoman Popo Priyatna Danes Ketut Ngastawa, Nyoman Wiratmaja, I Nyoman Sender dan Nyoman Baskara.
Hadir pula Rektor Universitas Udayana, Prof. Ir. I Ketut Sudarsana, S.T., Ph.D dan Sekretaris Forum Guru Besar Unud Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, M.S., serta Prof. Dr. I Gusti Ngurah Nitya Shantiarsa. (red/tim).