LMND Bali Tegaskan FSRU LNG Sidakarya Perlu Dievaluasi dan Disusun Ulang Sesuai Standar Fasilitas Serupa di Tingkat Nasional Hingga Internasional

Jbm.co id-DENPASAR | Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Bali Made Dirgayusa menegaskan perencanaan pembangunan Floating Storage Regasification (FSRU) Liquefield Natural Gas (LNG) Sidakarya perlu dievaluasi dan disusun ulang berdasarkan prinsip kehati-hatian, kajian risiko, dan keberlanjutan lingkungan yang telah menjadi standar dalam pembangunan fasilitas serupa di tingkat nasional maupun internasional.
Direncanakan pembangunan Floating Storage Regasification (FSRU) Liquefield Natural Gas (LNG) Sidakarya berjarak sekitar 500 meter dari pantai dengan kedalaman laut di lokasi hanya sekitar 6-8 meter, sehingga perlu pengerukan alur laut hingga kedalaman sekitar 15 meter, yang berisiko terhadap lingkungan laut.

Apalagi, perencanaan pembangunan FSRU LNG Sidakarya berlokasi sangat dekat dengan zona padat penduduk, seperti Desa Sidakarya, Intaran, kawasan wisata Pantai Sanur dan Pulau Serangan serta berdekatan dengan Hutan Mangrove Taman Tahura Ngurah Rai dan situs suci (pura) di kawasan pesisir.
Kedekatan lokasi dengan pemukiman dan kawasan wisata meningkatkan risiko keselamatan, gangguan estetika pantai dan potensi pencemaran.
Mengingat, kedalaman laut yang tidak sesuai dengan spesifikasi kapal FSRU mengharuskan pengerukan, yang berdampak negatif terhadap kerusakan habitat laut, kekeruhan air dan sedimentasi hingga gangguan terhadap biota laut dan resiko terhadap ekosistem mangrove.
Terlebih lagi, ukuran kapal FSRU yang besar (panjang ±290-300 m dan lebar ±40-50 m) akan mengganggu pemandangan laut.
Pada malam hari, lampu terang yang wajib dinyalakan untuk keperluan navigasi dapat menimbulkan polusi cahaya di sekitar pemukiman.
Ditambah lagi, kebisingan dari mesin generator, pompa dan flare juga berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar.
Demikian disampaikan Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Bali Made Dirgayusa, saat dikonfirmasi awak media di Denpasar, Sabtu, 24 Mei 2025.
Menurutnya, dengan mempelajari pembangunan serupa penempatan FSRU Lampung sejauh 21 km dari daratan merupakan hasil kajian komprehensif yang mempertimbangkan aspek keamanan, regulasi, perlindungan lingkungan, serta efisiensi teknis dan operasional.
“Strategi ini sejalan dengan praktik terbaik global dalam pembangunan dan penempatan fasilitas FSRU untuk meminimalkan risiko terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar,” tegasnya.
Berdasarkan perbandingan antara FSRU Lampung yang telah beroperasi dengan rencana pembangunan FSRU Sidakarya, lanjutnya terlihat adanya sejumlah ketidaksesuaian yang signifikan, terutama dalam hal keamanan, perlindungan lingkungan serta efisiensi teknis dan operasional.
Oleh karena itu, rencana pembangunan FSRU Sidakarya dalam bentuk yang sekarang dinilai tidak layak untuk dilanjutkan tanpa adanya revisi menyeluruh terhadap lokasi dan skema pengembangannya.
Jika tetap dipaksakan, proyek ini berpotensi menimbulkan berbagai konflik, baik secara sosial, ekonomi maupun ekologis.
“Sebagai catatan penting, FSRU dapat menjadi fasilitas strategis yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan pertumbuhan industri, namun manfaat tersebut hanya dapat dicapai, apabila perencanaannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar yang telah terbukti efektif di proyek-proyek lain, seperti FSRU Lampung,” paparnya.
Patut diketahui, bahwa FSRU Lampung berjarak sekitar 12-21 km dari garis pantai dan terletak di laut dengan kedalaman memadai (±20-23 meter), sehingga tidak memerlukan pengerukan.
Bahkan, posisinya sangat jauh dari permukiman, sehingga tidak terlihat dari daratan dan risiko terhadap penduduk sangat minim bila terjadi kecelakaan.
Menariknya, FSRU Lampung dilengkapi sistem Tower Yoke Mooring System (TYMS) untuk stabilitas dan keamanan kapal mengikuti arah angin dan arus.
“Pipa gas sepanjang ±21 km menghubungkan FSRU ke fasilitas penerima di daratan (ORF) di Labuhan Maringgai. Penempatan FSRU offshore juga mengurangi kebutuhan lahan darat, yang biasanya dibutuhkan oleh fasilitas nearshore,” urainya.
Pembangunan serupa juga bisa dibandingkan dengan FSRU Teluk Jakarta yang berjarak 15 km dari pantai dan memiliki kedalaman laut lebih dari 20 meter serta terletak di zona laut industri yang jauh dari permukiman penduduk, sehingga lebih aman secara sosial dan lingkungan.
Tak hanya itu, diluar negeri juga terdapat pembangunan FSRU OLT Toscana (Italia) berjarak 22 km dari pantai Livorno/Pisa dan terletak di laut dengan kedalaman sekitar 120 meter, sehingga tidak perlu pengerukan.
“Tidak memberikan dampak langsung terhadap kawasan wisata pantai karena lokasinya yang jauh dari daratan. Dilengkapi zona larangan berlayar radius 3 km untuk keselamatan navigasi,” jelasnya.
Ditambahkan lagi, bahwa alasan penempatan FSRU Lampung sejauh 21 km dari pesisir pantai dengan pertimbangan Keamanan dan Keselamatan.
Mengingat, LNG (Liquefied Natural Gas) sangat mudah terbakar dan resiko utama mencakup kebocoran gas, kebakaran, ledakan dan tabrakan kapal.
“Penempatan 21 km dari daratan memastikan bahwa dampak radiasi panas atau awan gas dari skenario kecelakaan ekstrem tidak mencapai pemukiman,” urainya.
Untuk diketahui, bahwa di tingkat Nasional, proyek FSRU harus melalui proses AMDAL, meskipun belum ada batas eksplisit mengenai jarak aman dari pantai. Risiko dievaluasi melalui kajian AMDAL dan Quantitative Risk Assessment (QRA).
“Secara internasional, IMO (International Maritime Organization) merekomendasikan zona keselamatan untuk instalasi lepas pantai, SIGTTO (Society of International Gas Tanker and Terminal Operators) menekankan pentingnya studi keselamatan dalam penentuan lokasi FSRU,” tegasnya lagi.
Standar dan Praktekk Global, dengan Offshore FSRU, seperti OLT Toscana ditempatkan jauh dari pantai dengan zona pengamanan khusus.
Bahkan, Nearshore FSRU, seperti Jebel Ali (UEA) berada dekat pantai, tapi dilengkapi sistem keamanan dan prosedur pelabuhan ketat.
Lokasi offshore mempertimbangkan lingkungan meminimalkan dampak terhadap ekosistem pesisir, seperti terumbu karang, hutan mangrove, dan habitat laut dangkal.
“Emisi dan pembuangan limbah mengikuti regulasi IMO, jarak 21 km menjadi buffer alami bila terjadi tumpahan bahan bakar. Kebutuhan lahan darat lebih kecil, menghindari pembukaan lahan baru di wilayah pesisir,” imbuhnya.
Selain itu, juga dilakukan pertimbangan Teknis dan Operasional dengan Kedalaman laut 20-23 meter sesuai dengan ukuran kapal (294 meter) dan draft-nya.
Lokasi offshore memungkinkan kapal berputar mengikuti arus dan angin dengan aman serta jaringan pipa bawah laut memang memerlukan investasi lebih, tetapi diimbangi dengan pengurangan infrastruktur darat.
“Lampung Timur tidak memiliki pelabuhan laut dalam, sehingga membangun terminal onshore akan jauh lebih mahal dan memakan waktu. FSRU offshore lebih fleksibel, lebih cepat dibangun (1-3 tahun), dan memanfaatkan laut sebagai lokasi gratis,” pungkasnya. (ace).




