BeritaDaerahHukum dan KriminalJembrana

Kesaksian Ahli BWS dan PWI Bali Ungkap Fakta Baru Warnai Sidang Kasus Wartawan di Jembrana

Jbm.co.id-JEMBRANA | Sidang kasus dugaan pencemaran nama baik dengan terdakwa oknum wartawan I Putu Suardana kembali menghadirkan ketegangan dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Negara, Kamis, 13 November 2025.

Kali ini, agenda menghadirkan tiga saksi meringankan (a de charge), masing-masing satu saksi fakta dan dua saksi ahli, yang dipanggil oleh tim kuasa hukum terdakwa.

Salah satu yang mencuri perhatian adalah keterangan ahli dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida, I Made Pasek, yang memberikan penjelasan terkait polemik dugaan pelanggaran sempadan sungai dalam pemberitaan terdakwa. Pasek menegaskan bahwa tidak ditemukan pelanggaran sebagaimana dituduhkan. Ia menjelaskan bahwa surat teguran BWS tertanggal 6 Juni 2024 bukanlah terkait pelanggaran sempadan sungai, melainkan persoalan kelengkapan perizinan.

“Dalam surat itu disebutkan konstruksi berjarak tiga meter dari tanggul. Itu masih sesuai ketentuan,” ujar Pasek. Ia menambahkan bahwa pemilik SPBU diberi kesempatan hingga Februari 2026 untuk melengkapi izin yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Ketegangan meningkat ketika saksi fakta I Ketut Widia menyampaikan pernyataan yang memantik reaksi majelis hakim. Saat membahas rekomendasi Dewan Pers, Widia berulang kali menggunakan istilah “Dewan Pers bodong”. Widia juga mengaku bahwa pihaknya sempat mencoba menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan. “Saya bahkan sempat datang ke rumah pelapor di Badung, tapi tidak bisa bertemu,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, Widia juga membeberkan bahwa ia sempat mengumpulkan narasumber di Kantor PHDI Jembrana untuk dimintai pendapat. Namun ketika majelis bertanya apakah narasumber tersebut adalah pihak-pihak yang namanya disebutkan dalam pemberitaan, ia mengaku tidak mengetahui dengan pasti.

Persidangan kemudian dilanjutkan dengan keterangan saksi lainnya, I Wayan Suyadnya, yang disebut sebagai bagian dari tim Advokasi PWI Bali. Namun Suyadnya menegaskan posisinya saat dimintai keterangan. “Saya bukan ahli pers. Saya wartawan senior sejak 1991,” ucapnya menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum, Sofyan Heru.

Meski bukan ahli pers bersertifikat, Suyadnya menyampaikan pandangannya terkait mekanisme penyelesaian melalui Dewan Pers. Ia menjelaskan bahwa idealnya proses mediasi dilakukan dalam minimal tiga kali pertemuan. “Setelah pertemuan pertama, biasanya Dewan Pers membuat draft perdamaian berisi syarat-syarat tertentu, lalu meminta tanggapan kedua pihak,” katanya.

Ketika majelis hakim mempertanyakan dasar hukum prosedur tersebut, Suyadnya mengakui bahwa mekanisme itu tidak memiliki landasan hukum formal seperti KUHAP, melainkan praktik penyelesaian sengketa pemberitaan yang lazim diterapkan.

Persidangan dijadwalkan kembali digelar pekan depan untuk melanjutkan pemeriksaan bukti serta mendengarkan keterangan saksi lanjutan. (red).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button