BeritaDaerahDenpasarHukum dan KriminalKarangasemKeagamaanSosial

Kasus Ashram di Karangasem Ditutup Paksa, Putu Suasta: Kasus Itu Rusak Citra Bali dan Kultur Hindu Moderat Selama 1.000 Tahun

Jbm.co.id-DENPASAR | Putu Suasta selaku Pengamat Kebijakan Publik, yang juga salah satu Pendiri Peradah Indonesia dan Forum Merah Putih menyoroti dugaan tindak pidana persekusi, intimidasi, penistaan agama dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dalam kasus Penutupan Ashram di Karangasem, Senin, 9 Juni 2025.

Kasus itu merusak citra Bali, kultur Hindu yang moderat di Pulau Dewata. Bali dikenal sebagai Pulau yang sangat Toleran, terbuka menerima keberagaman secara kultural, dan itu sudah berlangsung selama 1.000 tahun.

Sebagaimana hubungan antara Bali dan China (Tionghoa), khususnya dalam bidang budaya, sudah terjalin lama dan masih terjaga hingga saat ini.

Hubungan Bali dengan China secara historis sangat dekat khususnya di bidang kebudayaan, bahkan saat ini warisan budaya China masih gunakan dan lestarikan.

Contoh Warisan budaya Tionghoa di Bali yakni Tari Baris Cina, Barong Landung, merupakan contoh tarian yang terpengaruh oleh budaya Tionghoa, memadukan gerakan dan unsur tradisional Bali dengan gaya Tionghoa.

Belum lagi cerita rakyat, cerita Sampik Ingtai, yang berasal dari Tiongkok, sangat dikenal di kalangan masyarakat Bali.

Tradisi keagamaan dalam penggunaan uang kepeng (uang dengan lubang di tengah) dalam upacara keagamaan Hindu Bali adalah salah satu contoh pengaruh budaya Tionghoa.

“Pengaruh kebudayaan ini diterima dengan damai, tangan terbuka sehingga akulturasi budaya terjadi dan menyatu dengan kehidupan keseharian orang Bali,” bebernya.

Peristiwa aksi penutupan Ashram di Karangasem itu dengan cepat tersebar dalam media sosial secara nasional. Peristiwa itu dinilai sebagai prilaku yang primitif di tengah demokrasi, keterbukaan peradaban baru dan pilar konstitusi yang berdasarkan Pancasila maupun Pembukaan UUD 1945.

“Kok perilaku kacau dan sewenang-wenang begitu kasar dan sangat primitif sekali dipertontonkan. Mengobrak abrik tempat orang. Itu mesti segera diproses hukum oleh Polres, Polda, Kejaksaan, Mabes Polri. Karena tindakan para oknum desa itu sudah masuk kategori kriminal dengan pasal pengancaman, pasal membuat perasaan kurang nyaman Pasal 335 KUHP, pasal pencemaran, pasal hal-hak kemerdekaan berkumpul,” kata Suasta seorang Budayawan, Alumni UGM dan Cornell University dalam wawancara di Denpasar, Rabu, 25 Juni 2025.

“Apalagi kebetulan video dan gambarnya terekam ada. Jadi, sangat gampang aparat polisi lakukan pelacakan dan penahanan. Ini negara hukum tidak bisa sewenang-wenang siapapun itu. Mereka akan berhadapan dengan hukum negara,” tegasnya.

Tentu peristiwa itu sangat bertentangan dengan Pancasila maupun Pembukaan UUD 1945.

Oleh karena itu, hak-hak dasar mereka baik secara sosial, politik, budaya dan ekonomi serta kebebasan beragama termasuk dalam hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat ditawar (non-derogable rights).

Negara memiliki tanggung jawab melindungi hak-hak tersebut sebagaimana termaktub dalam Piagam PBB dan secara khusus di Indonesia sesuai dengan Pasal 27, 28, 29, 30, dan Pasal 31 UUD NRI 1945.

Untuk kasus itu bisa kena tindak pidana, kami mengacu pada Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang mendefinisikan Tindak pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana menurut peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Pasal 335 ayat (1) KUHP yang berbunyi Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan menimbulkan ketakutan, baik terhadap diri orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Tindakan tersebut di atas diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, antara lain Pasal 28 G, ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD RI Tahun 1945, Pasal 156a , Pasal 167, Pasal 170, Pasal 310 dan 335 KUHP, dan Pasal 422 KUHP .
Bahwa Pasal 28G ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menegaskan bahwa: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga menentukan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam Pasal 156a KUHP menentukan bahwa Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; atau b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.

Selanjutnya, dalam Pasal 167 KUHP menentukan bahwa Barang siapa dengan melawan hukum memasuki rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain, atau yang ada di situ dengan tidak berhak, dan tidak segera pergi setelah diperintahkan oleh atau atas nama orang yang berhak, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 170 KUHP menegaskan bahwa: Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Pasal 310 KUHP menegaskan bahwa: Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 335 ayat (1) KUHP menegaskan: Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan menimbulkan ketakutan, baik terhadap diri orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 422 KUHP menyebutkan, bahwa Pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabatnya memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Maka dari itu, Aparat Penegak Hukum (APH) mesti melakukan penanganan super serius. Apalagi, laporan itu sudah ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR RI, Komnas HAM Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Kabareskrim Mabes Polri, Kapolda Bali, Direskrim Polda Bali, Inspektorat Daerah Kepolisian Polda Bali, Dirpropam Kepolisian Polda Bali, Kabinkum Kepolisian Polda Bali, di Denpasar.

Sementara itu, Ketua Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali Dr Wayan Sayoga yang juga Pemerhati Sosial mengapresiasi Organisasi ISKCON-INDONESIA mengambil langkah hukum yang ditempuh merupakan sikap yang tepat.

“Sebagai warga negara yang beradab maka langkah ini tidak sekadar untuk menuntut keadilan atau untuk mengharapkan belas kasian dari negara, akan tetapi upaya ini merupakan bagian penting dalam upaya mengedukasi dan membangun kesadaran masyarakat bahwa jika ada hak hak dasar kita dilanggar terlebih dalam hal berkeyakinan maka kita mesti melawan dalam koridor yang sesuai dengan konstitusi,” kata Sayoga di Denpasar, Selasa, 24 Juni 2025

Tindakan sepihak beberapa oknum yang mengatas namakan adat dan ditemani aparat formal merupakan tindakan yang arogan dan sewenang wenang , yang sangat disesali oleh berbagai kalangan.

Memasuki properti pribadi orang lain yang disertai dengan tindakan menurunkan foto foto yang terpajang di dinding dan tindakan yang tidak pantas lainnya merupakan tindakan arogan dan memalukan ditengah kehidupan yang menjunjung adab, etik dan moral.

Cara-cara barbar dari tindakan penghakiman sepihak yang menimpa komunitas Ashram merupakan awan gelap bagi Bali.

Hal ini merupakan cerminan dari kegagalan pemerintah didalam membangun keharmonisan antar sesama.

“Hal ini bukan berita baik. Akan tetapi merupakan tamparan keras betapa kita mengalami kemunduran jauh karena tidak mampu mengelola perbedaan yang terjadi lewat cara cara yang bermartabat,terhormat dan berbudaya,” ujarnya.

Untuk itu, masyarakat luas menunggu respon aparat kepolisian atas penghakiman sepihak yang jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak mendasar dari warga negara yang sebetulnya dijamin oleh konstitusi.

Sebelumnya juga, Akademisi Prof I Gede Sutarya ikut menyayangkan Pulau Bali yang kembali menghadapi dugaan tindak pidana persekusi, intimidasi, dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dalam kasus Penutupan Asram di Karangasem, Senin, 9 Juni 2025.

Pada 9 Juni 2025, sekitar pukul 09.00 WITA, di area tempat suci Asram, Desa Adat Subagan, Kabupaten Karangasem, sekelompok individu yang terdiri dari NR, CSA, IGA memasuki area tanpa izin pengelola.

Mereka mengintimidasi pelapor dengan menanyakan atribut persembahyangan yang belum diturunkan dan meminta KTP secara tidak prosedural, yang dianggap sebagai persekusi.

Pelapor menyatakan bahwa ia berada di lokasi sebagai pelajar dan tidak berani menurunkan atribut tersebut karena menghormati nilai sakral.

Selain itu, kelompok tersebut memaksa I Ketut Sukiadi, pemilik tanah, untuk menandatangani surat, yang ditolaknya atas saran anaknya.

Selain itu, pemindahan atribut persembahyangan, termasuk foto Parwa Dewa-Dewa, Kitab Suci, genta, tempat tirta, guci, dan alat lainnya, dipindahkan secara sembarangan oleh kelompok tersebut, dengan dalih bahwa mereka hanya membantu I Ketut Sukiadi.

“Hal-hal seperti itu seharusnya dimulai dari dialog sebab desa adat tidak punya kekuatan paksa seperti negara,” kata Prof. Sutarya di Denpasar, Selasa, 24 Juni 2025.

Menurutnya, apabila ada pelanggaran hukum yang mengharuskan suatu ashram ditutup, desa adat harus melaporkannya ke polisi sehingga aparat negara yang berwenang yang mengambil tindakan.

“Desa adat tidak bisa main hakim sendiri. Negara ini punya aturan yang harus dipatuhi. Saya sarankan apapun konflik diselesaikan dengan dialog sebab esensi desa adat adalah dialog,” tegasnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Dr. Dewa Krisna Prasada, M.H., mengatakan, kasus itu sebagai peristiwa intimidasi dan pemaksaan dari fakta-fakta yang terungkap dalam laporan informasi yang disampaikan oleh pelapor, I Dewa Anom, S.Sos kepada kepolisian.

Tindakan ini diduga melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, karena atribut tersebut memiliki nilai sakral bagi umat Hindu, termasuk pelapor. Tidak ada bukti bahwa pemindahan tersebut dilakukan dengan izin pengelola tempat suci, sehingga tindakan ini bersifat melawan hukum.

Maka dari itu, pihak Ashram telah melakukan Laporan Dugaan Tindak Pidana Persekusi, Intimidasi, dan Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama kepada Kapolres Karangasem, pada 15 Juni 2025.

Terkait perkembangan kasus Penutupan Asram di Amlapura, Karangasem, pihaknya menyampaikan informasi berdasarkan surat resmi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polres Karangasem, dengan nomor B/161/VI/RES.1.24./2025/Reskrim dan nomor B/294/VI/RES.1.24./2025/Reskrim telah diterbitkan surat panggilan klarifikasi pelapor yaitu Dewa Anom perwakilan dari Organisasi ISKCON-INDONESIA yang ada ditempat kejadian perkara persekusi guna memberikan keterangan dalam rangka penyelidikan kasus yang dilaporkan.

Proses ini, tentunya merupakan lanjutan dari Laporan Informasi dengan Nomor: LI/125/VI/2025/Reskrim dan dilanjutkan dengan Surat Perintah Tugas Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/482/VI/RES.1.24./2025/Reskrim tertanggal 16 Juni 2025.

“Proses hukum masih berjalan dan kami menghormati setiap langkah yang diambil oleh pihak kepolisian sesuai prosedur yang berlaku,” kata Dr. Dewa Krisna Prasada didampingi Dr Febriansyah Ramadhan, I Gede Druvananda Abhiseka, I Gusti Agung Kiddy Krsna dan I Ketut Dody Arta Kariawan.

Ia juga menegaskan bahwa Dewa Anom selaku pelapor yang mewakili organisasi senantiasa kooperatif dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.

Dalam hal ini, pihaknya berharap seluruh pihak, termasuk media dan masyarakat, dapat menghormati asas praduga tak bersalah dan memberikan ruang bagi aparat penegak hukum untuk bekerja secara profesional dan objektif.

Ia mengapresiasi perhatian publik terhadap kasus ini dan akan terus memberikan informasi yang akurat dan transparan seiring dengan perkembangan lebih lanjut.

“Kami percaya bahwa kebenaran akan terungkap melalui proses hukum yang adil dan terbuka,” pungkasnya, sembari menyatakan Negara mesti hadir untuk menegakkan hak hak masyarakat secara adil dan mengikat. (red/tim).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button