“Siwaluh Jabu” Warisan Budaya yang Terancam

Jbm.co.id-JAKARTA | Kekayaan beragam budaya nusantara, seperti rumah “Siwaluh Jabu” wajib dijaga dan dilestarikan untuk diwariskan kepada generasi muda, pemilik masa depan masyarakat bangsa, demikian Valentino Barus, Wakil Ketua Umum Batak Center di Jakarta, 27 Oktober 2025.
Leluhur masyarakat bangsa Indonesia telah mewariskan kekayaan budaya yang sangat tinggi dan beraneka ragam, baik benda maupun tak benda yang wajib kita lestarikan, kata SM. Tampubolon, Ketua Umum Batak Center. Dari rumah adat nusantara misalnya kita menemukan berbagai karya arsitektur tinggi masa lalu yang sungguh mengagumkan. Salah satu diantaranya adalah rumah adat “Siwaluh Jabu” yang unik dan megah peninggalan leluhur Batak Karo,” sambung Valentino.

Siwaluh Jabu (waluh = delapan, jabu = rumah/keluarga) menjelaskan bahwa satu rumah besar dihuni oleh delapan keluarga. Rumah ini menggambarkan ikatan komunal dan tradisi kebersamaan masyarakat Karo di masa lalu.
*Arsitektur dan Konstruksi*
Wujud bangun arsitektur “Siwaluh Jabu” adalah sebuah karya evolusi panjang yang mempertimbangkan kondisi alam, ketersediaan bahan bangunan, dan kondisi sosiologis – antropologis masyarakat yang senantiasa menjunjung nilai-nilai luhur, spiritual, dan gotong-royong dalam pembangunannya.
Arsitektur Siwaluh Jabu terlihat megah dan unik karena bentuk atapnya yang tinggi dan menjulang, dengan hiasan anyaman bambu atau ijuk, menjadi ciri khasnya. Hiasan atap (ayo-ayo) lima warna simbol kumpulan lima marga dan berfungsi sebagai ventilasi alami.
Bahan material bangunan seperti; ijuk untuk atap, kayu nderis untuk dinding dan pilar, bambu untuk ture (teras), dan batu (palas) diambil dari alam sekitar. Keberadaan kepala kerbau dipuncak bumbungan atap sebagai simbol kekuatan dan semangat serta penolak bala untuk melindungi penghuni dari gangguan mistis. Sementara gambar ornamen cicak (pengeretret) merupakan simbol pengikat dan kemampuan beradaptasi di berbagai situasi dan tempat. Rumah ini berdiri kokoh dengan pilar-pilarnya di atas palas batu sehingga tahan gempa dan meski tidak menggunakan paku ikatan antar bagiannya disatukan dengan sistem pasak kayu dan diikat dengan bambu, rotan dan ijuk.

Proses pembangunannya yang kompleks dan penuh ritual dilakukan secara bergotong royong dan melibatkan pemimpin spiritual (Guru Sibaso) agama Pemena, paduan animisme dan Hindu, sejak penentuan lokasi dan posisi, pemilihan hari baik untuk bekerja hingga peresmian (mbengket) rumah. Proses pembangunan ini menunjukkan penghargaan terhadap leluhur dan hubungan spiritual antara manusia, lingkungan alam, dan roh nenek moyang. Karenanya, selain sebagai tempat tinggal dan pusat kegiatan adat, diyakini juga memiliki nilai spiritual mendalam karena menjadi tempat tinggal roh leluhur dan menjadi pusat nilai, etika kehidupan dan identitas budaya.
*Mendesak Dilestarikan*
Dewasa ini, keberadaan Siwaluh Jabu semakin sulit ditemukan. Kelangkaan Siwaluh Jabu tidak terlepas dari politik bumi hangus pada agresi Belanda 1947 – 1948. Pada masa itu banyak properti termasuk ratusan rumah adat di 51 desa dibakar oleh para pejuang dan masyarakat Karo agar tidak dipakai Belanda. Selain itu seiring dengan perubahan gaya hidup dan modernisasi, pembangunan rumah keluarga baru lebih cenderung mengutamakan keluarga inti. Saat ini, rumah adat bisa disaksikan di Desa Dokan dan Lingga – Kabupaten Karo. Selain itu juga bisa dinikmati di TMII Jakarta dan di Canggu Bali.
Bunyi alarm yang semakin nyaring itu hendaknya menjadi keprihatinan semua pihak, khususnya Kementrian Kebudayaan, Pemda Sumut, Pemda Kabupaten Karo, dan masyarakat Karo secara luas. Wujud kecintaan kini tidak cukup sekedar menampilkan gambar rumah adat pada setiap kartu undang pernikahan atau membuat replika atap rumah adat di gedung-gedung pemerintah Kabupaten Karo.
Langkah-langkah kreatif dan solutif perlu segera dilakukan diantaranya; penyusunan materi pembelajaran pada buku-buku muatan lokal, usulan anggaran untuk merawat rumah adat tersisa, dan mendorong masyarakat Karo dari berbagai marga untuk melakukan gerakan pengumpulan dana.
“Kalau saja setiap marga dari lima kumpulan marga Karo membangun satu rumah adat maka sudah akan terbangun lima rumah adat. Selanjutnya bisa diharapkan masing-masing marga atau sub-marga di kelompoknya tergerak untuk membangun pula rumah adat mereka,” pungkas Valentino. (red).




