BeritaDaerahDenpasarPendidikan

DR Diah Srikandi Tegaskan Perubahan Iklim Berdampak Nyata Buat Kesehatan Reproduksi

Jbm.co.id-DENPASAR | Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengadakan FGD Penyusunan Strategi Implementasi RAN GPI Sektor 6 untuk isu kesehatan reproduksi di Sanur Resort Watujimbar, Jalan Danau Tamblingan Nomor 99A, Sanur, Bali, Rabu, 29 Oktober 2025.

DR. I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi W.S., SE.,MM., selaku Tim Ahli Gubernur Bali Bidang Perempuan dan Anak menjadi Narasumber FGD Kementerian PPPA dengan mengambil tema
“Kesehatan Reproduksi Berketahanan Iklim”.

Dalam pemaparannya, Tim Ahli Gubernur Bali Bidang Perempuan dan Anak, DR. I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi W.S., SE.,MM., yang akrab disapa Gek Diah Srikandi menyebutkan Kesehatan Reproduksi berarti kondisi fisik, mental dan sosial yang baik dalam semua hal yang terkait system reproduksi dan prosesnya.

Sementara itu, Berketahanan Iklim adalah kemampuan sistem atau komunitas untuk bertahan, beradaptasi dan pulih dari dampak perubahan iklim (suhu ekstrem, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, kerusakan lingkungan) dengan tetap menjaga fungsi normal.

“Perubahan iklim tidak hanya soal lingkungan, ia berdampak ke sektor Kesehatan, termasuk Kesehatan reproduksi. Contohnya, suhu ekstrem, bencana alam, kerusakan lingkungan dapat mempengaruhi kehamilan, kesuburan, akses layanan Kesehatan reproduksi,” kata Gek Diah Srikandi.

Dengan memadukan perspektif” Ketahanan Iklim” ke dalam program Kesehatan Reproduksi berarti bisa mempersiapkan layanan, edukasi dan kebijakan, supaya tetap efektif meskipun terjadi perubahan iklim/kondisi ekstrem.

Lebih lanjut Gek Diah Srikandi menyebutkan dampak perubahan
iklim terhadap kesehatan reproduksi.

“Paparan suhu ektrem (panas atau dingin) pada kehamilan dapat meningkatkan resiko kelahiran premature, gangguan pertumbuhan janin, hipertensi kehamilan. Perubahan iklim mengakibatkan kerusakan alam, polusi, gangguan pangan & gizi serta mempengaruhi status gizi ibu hamil, dan ini berimplikasi Kesehatan reproduksi,” urainya.

Akses layanan kesehatan reproduksi bisa terganggu, saat bencana iklim atau kondisi ekstrem (infrastruktur rusak, transportasi terganggu, prioritas berubah)

“Kerentanan gender dan sosial terkait perempuan, remaja perempuan, kelompok rentan menjadi lebih terdampak, terutama di konteks perubahan iklim. Misalnya, di daerah terdampak bencana, kekerasan berbasis gender dan seks (KBGS) meningkat,” terangnya.

Untuk membuat program kesehatan reproduksi menjadi berketahanan iklim, beberapa aspek utama harus diperhatikan, diantaranya:

a. Penilaian kerentanan dan kapasitas

Menilai seberapa rentan komunitas/sistem (ibu hamil, remaja, penyedia layanan) terhadap dampak perubahan iklim, misalnya lokasi rawan banjir/gelombang panas, infrastruktur Kesehatan lemah, akses transportasi sulit.

b. Adaptasi dan Mitigasi

Adaptasi menyiapkan sistem layanan kespro yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Misalnya fasilitas yang punya alat cadangan, rute evakuasi, layanan mobile, edukasi khusus,

Mitigasi: mengurangi penyebab perubahan iklim juga penting, misalnya fasilitas Kesehatan yang hemat energi, pengelolaan limbah, kebijakan kesehatan dan lingkungan yang bersinergi.

c. Integrasi Lintas Sektor

Kesehatan Reproduksi yang berketahanan iklim bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan saja, tapi melibatkan lingkungan, pendidikan, gender, perlindungan sosial, infrastruktur.

Misalnya program Yayasan IPAS Indonesia yang menggabungkan Kesehatan reproduksi dan krisis iklim di Sulawesi Tengah.

d. Edukasi dan Pemberdayaan Komunitas

Masyarakat, termasuk remaja dan perempuan perlu memahami dampak perubahan iklim terhadap reproduksi, melindungi diri dan mengakses layanan.

Edukasi harus kontekstual dan inklusif dengan emperhatikan gender, sosial ekonomi, penyandang disabilitas.

Beberapa strategi yang bisa diterapkan meliputi:

a.Pastikan layanan kesehatan reproduksi (kehamilan, persalinan, KB, infeksi menular seksual) tetap tersedia dalam kondisi darurat iklim, seperti bencana, panas ekstrem, kekeringan.

b. Penguatan infrastruktur kesehatan fasilitas yang tahan banjir, Listrik Cadangan, transportasi darurat, kolaborasi dengan BPBD/Lembaga bencana lainnya.

c.Integrasi data iklim dan kesehatan menggunakan informasi cuaca ekstrem untuk mempredikasi lonjakan kebutuhan layanan, memperkuat sistem peringatan dini.

d. Fokus pada kelompok rentan remaja Perempuan, ibu hamil, lansia, penyandang disabilitas, Masyarakat di daerah terpencil.

e.Peningkatan kualitas gizi dan sanitasi (WASH) sebagai bagian dari ketahanan iklim dan Kesehatan reproduksi.

f. Advokasi Kebijakan Memastikan program Kesehatan reproduksi mencakup aspek perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan

g. Edukasi masyarakat tentang hubungan antara lingkungan, iklim dan kesehatan reproduksi (misal: bagaimana polusi, panas ekstrem dapat mempengaruhi kehamilan)

h. Monitoring dan evaluasi dengan mengukur intervensi berhasil memperkuat ketahanan, baik di bidang reproduksi maupun kesehatan umum.

Untuk itu, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir, gelombang panas, kekeringan. Bahkan, di Bali/Denpasar bisa relevan terhadap wisata, urbanisasi, perubahan lingkungan, perlu adaptasi lokal (akses layanan Kesehatan reproduksi saat bencana, posyandu, bidan, distribusi kontrasepsi, transportasi).

Bahkan, kegiatan ini sangat membutuhkan keterlibatan Pemerintah Daerah, Dinas Kesehatan, lingkungan hidup, organisasi masyarakat untuk menyusun rencana adaptasi yang konstekstual.

“Sangatlah penting untuk menggabungkan edukasi di sekolah, komunitas mengenai hubungan antara iklim dan kesehatan reproduksi sehingga generasi muda lebih siap,” urainya.

Kemudian, Gek Diah Srikandi menegaskan perubahan iklim memiliki dampak nyata terhadap kesehatan reproduksi, baik secara langsung (suhu ekstrem, polusi) maupun tidak langsung (akses layanan, gizi, kekerasan).

Untuk itu, program kesehatan reproduksi harus dikembangkan dengan pendekatan ketahanan iklim agar tetap efektif di masa depan.

“Sangat perlu melibatkan berbagai sektor, fokus ke kelompok rentan, penguatan infrastruktur dan edukasi adalah kuncinya. Di Indonesia, termasuk Bali, penting untuk mengintegrasikan isu ini dalam kebijakan lokal dan program komunitas,” pungkasnya. (red).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button