Ngeseng Puspa Antarkan Sang Pitara Naik Tingkat Jadi Dewa Pitara

Jbm.co.id-KARANGASEM | Karya Baligia Utama Puri Agung Karangasem memasuki rangkaian upacara Stiti di Bale Piyadnyan, Taman Sukasada Ujung, Kabupaten Karangasem, Selasa, 22 Juli 2025.
Upacara Stiti dipimpin oleh tujuh sulinggih sebagai Pemuput Karya diantaranya Ida Pedanda Gede Putra Batuaji dari Griya Batuaji Akah, Klungkung, Ida Pedanda Gede Manusingaraga dari Griya Sangkan Gunung, Ida Pedanda Ketut Pidada dari Griya Sidemen, Ida Pedanda Gede Jelantik Padang dari Griya Budekeling, Ida Pedanda Gede Buruan Sekaton dari Griya Tengah Jungutan Sibetan, Ida Pedanda Istri Keniten dari Griya Pendem dan Ida Pedande Gede Oka Kemenuh dari Griya Sudi Katon.
Selain itu, juga dilakukan Memutru Saji oleh Ida Pedanda Gede Made Tamu dari Griya Bungaya dan Memutru Adi Parwa oleh Ida Pedande Gede Putra Bajing dari Griya Bajing Karangasem.
Upacara dilanjutkan dengan Ngeliwet, Mayoga, Mrelina hingga Ngeseng Puspa Lingga Angga Puri lan Sekah Pengiring, yang dilakukan bertepatan dengan pusat keheningan, pada pukul 00.00 WITA.
Rangkaian upacara tersebut dipimpin oleh tujuh Ida Sulinggih sebagai Pemuput Karya meliputi Ida Pedanda Gede Pengajaran dari Griya Sidemen, Ida Pedanda Istri Ngurah Pidada dari Griya Sudi Katon, Ida Pedanda Gede Putra Tamu dari Griya Bungaya, Ida Pedanda Gede Ketut Pidada dari Griya Pidada Belong, Ida Pedanda Gede Putra Lusuh dari Griya Suci Celit Selat, Ida Pedanda Gede Swabawa Karang Adnyana dari riya Jelantik Karang Budekeling dan Ida Pedanda Gede Putra Talikup dari Griya Kaulu Blau Muncan.
Setelah itu, dilakukan Memutru Saji Ida Pedanda Gede Nyoman Karang dari Griya Kecicang dan Memutru Adi Parwa oleh Ida Pedanda Gede Ngenjung Peling dari Griya Bungaya.
Pada kesempatan tersebut, Pengelingsir, Pengerajeg Karya Baligia Utama 2025, sekaligus Manggala Puri Agung Karangasem Anak Agung Parta Wijaya didampingi Prawartaka Karya, Anak Agung Made Kosalia menyatakan upacara Ngeliwet merupakan sarana membuat bekal buat para Pitara yang disucikan menjadi Dewa Pitara menuju alam kesucian.
Intinya, Ngeliwet itu berarti memasak untuk memberikan bekal berharga kepada para Pitara yang akan menuju ke alam nirwana.
“Seperti layaknya di dunia nyata, Ngeliwet itu diartikan persembahan makanan terakhir bagi para Pitara, yang akan naik tingkat menjadi Dewa Pitara,” terangnya.
Menariknya, sarana Ngeliwet berbahan utama berupa beras yang nanti dijadikan bubur didalamnya mengandung makna spiritual.
“Saat itu, beras itu dibersihkan dan ditumbuk, masing-masing sebanyak 11 kali,” kata Parta Wijaya.
Pada waktu mengaduk beras itu bersarana benang dan uang kepeng bolong. Benang mengandung makna melindungi areal disekitar Piyadnyan, agar tidak ada gangguan. Sementara, uang kepeng bolong bermakna kemakmuran.
“Jadi, didalam pengadukan ini ditambah simbol benang dan uang kepeng bolong untuk menjaga keselamatan dan menjaga dari gangguan-gangguan dari hal-hal yang tidak diinginkan,” paparnya.
Didalam bubur itu, lanjutnya tercampur sarana empehan lembu putih, yang sebelumnya ikut serta dalam upacara Mepurwa Daksina.
“Empehan itu artinya air susu yang diambil dari lembu putih itu dicampur didalamnya, begitu pula ada daging warak, salah satunya itu diaduk didalam gendar itu bàgian dari bahan-bahan sakral untuk bekal para Pitara menuju ke alam keabadian,” urainya.
Setelah proses Ngeliwet, sarana bubur dibawa kehadapan Ida Sulinggih selaku Pemuput Karya untuk dilakukan persembahyangan, yang kemudian sajian hidangan dibagi-bagikan ke setiap Puspa di Bale Piyadnyan.
“104 Puspa itu diberikan jatah sesuai porsinya masing-masing, tapi itu diberikan mantra Ida Pendeta (Sulinggih) untuk diberikan bekal menuju ke alam keabadian,” kata Parta Wijaya.
Setelah itu, dilakukan prosesi Ngeseng atau membakar Puspa dengan rangkaian upacara diawali dengan menurunkan Puspa dari Bale Piyadnyan, yang ditempatkan pada wadah sesenden berbahan tanah dengan pengadukan berbahan tebu, untuk melakukan proses pembakaran.
Menurutnya, setelah Sang Pitara berada pada tingkatan lebih suci, Sang Pandita Ida Sulinggih melakukan Puja Tirta Pralina untuk mengantarkan Sang Pitara menuju alam keabadian.
Hal tersebut berarti Puspa Lingga beserta Sekah Pengiring sebagai simbol badan Sang Pitara ditinggalkan untuk naik tingkatan menjadi Dewa Pitara menuju alam Nirwana.
Kemudian, bahan-bahan pembentuk Puspa dibongkar satu persatu, yang selanjutnya digeseng atau dibakar layaknya membakar abu tulang jenazah, saat upacara Ngaben.
Pada kesempatan yang sama, Ida Pedanda Istri Ngurah dari Griya Pidada Sidemen menyatakan sarana beserta peralatan Ngeseng Puspa, diantaranya Sesenden berbahan tanah sebagai alas Ngeseng Puspa.
Kemudian, satu persatu bahan pembentuk Puspa dibongkar, seperti daun beringin, buluh bambu gading, bunga ratna putih, bunga medori, teratai putih, bunga pilasa dan bunga pinang yang muda.
Selain itu, juga terdapat Kayu Nagasari sebagai kayu bakar, kayu cendana dan potongan tebu untuk melumat Puspa.
Setelah lumat menjadi abu, kemudian diperciki wangi-wangian, yang kemudian dimasukkan kedalam bungkak Nyuh Gading. Setelah itu, barulah dipersiapkan upacara Nganyut ke Segara Ujung, Karangasem.
“Itu dibakar dan diaduk secara halus, ada proses pembakarannya, lalu dimasukkan kedalam Bungkak Nyuh Gading, dibungkus dengan kain kasa putih, yang dibawa pada saat arak-arakan nanti untuk dilarung ke Segara Ujung,” kata Ida Pedanda Istri Ngurah dari Griya Pidada Sidemen, Rabu, 23 Juli 2025.
Proses tahapan ini dikatakan berbeda dengan prosesi Ngereka, yang intinya hasil pembakaran berupa abu atau debu halus tersebut dibentuk seperti badan manusia, lalu dibungkus kembali kedalam kain putih.
“Itu tidak ada tulang dan sebagainya, sehingga benar-benar debu dan abu saja isinya. Nah, itu yang nanti menjalani prosesi Nganyut ke Segara Ujung, Karangasem,” tandasnya.
Setelah itu, dilakukan upacara Nganyut ke Segara Ujung dipimpin oleh dua Ida Sulinggih selaku Pemuput Karya, yaitu Ida Pedanda Gde Putra Bajing dari Griya Pesagi dan Ida Pedanda Gede Pengajaran dari Griya Sidemen.
“Upacara tersebut bertujuan mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta keasalnya masing-masing,” tambahnya.
Melalui semua rangkaian upacara ini, Parta Wijaya menyebutkan Karya Baligia Utama adalah tahapan penyucian badan halus, dalam arti peningkatan dari Pitara menjadi Dewa Pitara, yang selanjutnya ditempatkan di Merajan Puri masing-masing, yaitu Rong Tiga.
“Itu yang akan disembah oleh para Keluarga Besar atau Pretisentana, saat sudah distanakan di Rong Tiga,” tandasnya. (ace).