Undang Kepala Kanwil DJP Bali, Ketua DPRD Badung Putu Parwata Pimpin Raker Pansus DPRD Badung Bahas Pajak dan Retribusi Daerah
Jbm.co.id-BADUNG | Ketua DPRD Kabupaten Badung Putu Parwata memimpin Rapat Kerja atau Raker Pansus DPRD Kabupaten Badung membahas Ranperda atau Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan mengundang Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kakanwil DJP Bali Nurbaeti Munawaroh di Ruang Rapat Gosana II Lantai II, Gedung DPRD Kabupaten Badung, Rabu, 11 Oktober 2023.
Raker Pansus langsung dipimpin oleh Ketua DPRD Kabupaten Badung Putu Parwata didampingi Ketua Pansus I Nyoman Graha Wicaksana dan juga dihadiri Wakil Ketua Pansus I Made Suryananda Pramana beserta Anggota Pansus diantaranya adalah I Wayan Sugita Putra, I Wayan Sandra, I Nyoman Satria, I Made Yudana dan Yayuk Agustin Lessy.
Turut hadir, sejumlah Pimpinan Organisasi Perangkat Daerah atau OPD terkait, seperti Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Badung, Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Badung, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Kabupaten Badung, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Badung, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Badung, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Mangusada, Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Badung dan OPD lainnya.
Ketua DPRD Kabupaten Badung Putu Parwata menyampaikan Rapat Kerja Pansus DPRD Kabupaten Badung melakukan pembahasan dan pengkajian mengenai Ranperda atau Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
“Kita betul-betul ingin menggali materi, karena hal ini menyangkut tentang kesejahteraan kita semuanya dan hajat hidup masyarakat serta kelangsungan dari Pemerintahan,” terangnya.
Oleh karena itu, pihaknya harus sedikit berhati-hati membuat peraturan ini, yang melakukan komunikasi dengan Kakanwil Pajak Provinsi Bali dan beberapa Narasumber yang lainnya, supaya hasilnya bisa lebih bagus lagi. Tak hanya itu, hasilnya dapat diimplementasikan secara konkret dengan tidak membebankan masyarakat.
“Pada prinsipnya, peraturan ini dibuat untuk kebaikan kita semua, baik masyarakat maupun Pemerintah. Saya kira itu intinya,” terangnya.
Lebih jauh lagi, lanjutnya pungutan pajak berbasis teknologi dan digital diterapkan sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 menyebutkan Pajak Penghasilan atau PPh itu ditetapkan 2,5 persen, untuk berkeadilan yang berpotensi meningkatkan lagi volume bertransaksi.
“Jadi, itu buat keringanan masyarakat. Kami yakin itu akan naik lagi, tidak ada lagi transaksi siluman dan tidak ada lagi namanya transaksi gantung. Jadi, itu clear semuanya dan coba kita lakukan,” ungkapnya.
Jika tidak mematuhi aturan pajak, lanjutnya akan dikenakan sanksi. Meski demikian, nilai keuntungannya akan terlihat dengan adanya penambahan nilai dan volume bertransaksi yang semakin banyak dibandingkan dengan transaksi tersembunyi yang menggantungkan nilai transaksinya. Hal tersebut dinilai akan meringankan masyarakat sekaligus menambah nilai volume transaksi yang lebih besar.
“Kita sudah buat Undang-Undang yang bagus-bagus, tapi kalau tidak taat, kita tutup usahanya,” tegasnya.
Disisi lain, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kakanwil DJP Bali
Nurbaeti Munawaroh, menyebutkan
PPh atau Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap penjual suatu obyek. Namun, BPHTB itu bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dikenakan oleh Pemerintah Daerah kepada pembeli.
“Sebenarnya berbeda subyeknya. Pajak Penghasilan, betul khan kalau yang jual dapat penghasilan dari jual rumahnya. Itu yang dipajaki, sifatnya final. Namun, BPHTB obyeknya pajak daerah untuk pembeli, ketika dia memperoleh hak dari pengalihan tanah dan bangunan itu, karena dia beli. Jadi, bea atas pembelian suatu obyek. Jadi, itu beda tidak double,” terangnya.
Namun, prakteknya di masyarakat seolah-olah sama, karena terkadang penjual tidak mau tanggung PPh, tetapi hal itu masalah pembahasaan saja. Secara prinsipnya, pengenaan pajaknya berbeda. “Itu dua subyek yang berbeda, antara penjual dan pembeli,” tambahnya.
Sebelum dikeluarkan PP Nomor 34 tahun 2016, Pajak Penghasilan dikenakan tarif 5 persen dari total transaksi. Setelah itu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 menurunkan tarifnya menjadi 2,5 persen. Kenyataannya, penerimaan pajak terus meningkat.
“Turun ya dari 5 persen menjadi 2,5 persen, tapi jangka panjangnya membuat masyarakat terdorong untuk patuh melaporkan pajak sesuai dengan nilai sebenarnya, sehingga kalau DPP-nya benar berdasarkan transaksi sebenarnya maka DPP besar. Jadi, 2,5 persen dari DPP yang besar menjadi sama atau bahkan lebih tinggi,” tambahnya.
Dimulainya aturan PPh dari 5 persen menjadi 2,5 persen melalui PP 34 tahun 2016 membuat transaksi pengalihan tanah dan bangunan itu menyumbang kontribusi relatif besar terhadap penerimaan pajak secara nasional berupa PPh.
Menyikapi sudah turun 2,5 persen, lanjutnya DJP itu memiliki fungsi, dimulai dari masa edukasi dulu. Jika masyarakat patuh, maka suasana akan nyaman.
“Kita kasi tahu 2,5 persen transaksi sebenarnya ya. Kalau Rp 1 Milyar jangan dikecilin jadi Rp 500 Juta. Dengan diedukasi begitu, masyarakat mau, itu selesai, tidak ada masalah,” terangnya.
Meski demikian, pihaknya berharap masyarakat Bali lebih edukatif, apalagi indeks IPM nomor satu secara Nasional teredukasi dengan baik.
Harapannya, kesadaran masyarakat Bali membayar pajak semakin tinggi, sehingga rasanya lebih mudah untuk mengajak masyarakat Bali untuk patuh membayar pajak. Dengan demikian, pihaknya tidak perlu melakukan kegiatan lawyer postman
atau penegakan hukum.
“Tapi kami tetap tegakkan hukum bagi Wajib Pajak yang memang tidak mau patuh bayar pajak, untuk memberikan rasa keadilan kepada semuanya,” pungkasnya. (ace).