Raker Pansus Pajak dan Retribusi Daerah, Ketua DPRD Badung Putu Parwata Sebut Pungutan Pajak Berbasis Teknologi Digital Ditetapkan 2,5 Persen
Jbm.co.id-BADUNG | Rapat Kerja Pansus DPRD Kabupaten Badung membahas Ranperda atau Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dihadiri Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kakanwil DJP Bali Nurbaeti Munawaroh di Ruang Rapat Gosana II Lantai II, Gedung DPRD Kabupaten Badung, Rabu, 11 Oktober 2023.
Raker Pansus langsung dipimpin oleh Ketua DPRD Kabupaten Badung Putu Parwata didampingi Ketua Pansus I Nyoman Graha Wicaksana dan juga dihadiri Wakil Ketua Pansus I Made Suryananda Pramana beserta Anggota Pansus diantaranya adalah I Wayan Sugita Putra, I Wayan Sandra, I Nyoman Satria, I Made Yudana dan Yayuk Agustin Lessy.
Turut hadir, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Badung, Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Badung, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Kabupaten Badung, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Badung, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Badung, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Badung, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Badung, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Badung, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Mangusada serta Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Badung.
Ketua DPRD Kabupaten Badung Putu Parwata menyampaikan Rapat Kerja Pansus DPRD Kabupaten Badung melakukan pembahasan dan pengkajian mengenai Ranperda atau Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
“Kita betul-betul ingin menggali materi, karena hal ini menyangkut tentang kesejahteraan kita semuanya dan hajat hidup masyarakat serta kelangsungan dari Pemerintahan,” kata Putu Parwata.
Oleh karena itu, pihaknya harus sedikit berhati-hati membuat peraturan ini. Bahkan, Putu Parwata mencoba melakukan komunikasi dengan Kakanwil Pajak Provinsi Bali dan beberapa Narasumber yang lainnya, supaya bisa lebih bagus lagi. Tak hanya itu, hasilnya dapat diimplementasikan secara konkret dan tidak membebankan masyarakat.
“Pada prinsipnya, peraturan ini dibuat untuk kebaikan kita semua, baik masyarakat maupun Pemerintah. Saya kira itu intinya,” terangnya.
Lebih jauh lagi, lanjutnya pungutan pajak berbasis teknologi dan digital sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 disebutkan PPh itu ditetapkan 2,5 persen untuk berkeadilan yang berpotensi akan bisa naik lagi volume bertransaksi.
“Jadi, itu buat keringanan masyarakat. Kami yakin itu akan naik lagi, tidak ada lagi transaksi siluman dan tidak ada lagi namanya transaksi gantung. Jadi, itu clear semuanya dan coba kita lakukan,” ungkapnya.
Jika tidak mematuhi aturan pajak, maka ada dikenakan sanksi. Meski demikian, nilai keuntungannya akan terlihat dengan adanya penambahan nilai dan volume transaksi yang semakin banyak dibandingkan dengan transaksi tersembunyi yang menggantungkan transaksinya. Hal tersebut dinilai akan meringankan masyarakat sekaligus menambah nilai volume transaksi yang lebih besar.
“Kita sudah buat Undang-Undang yang bagus-bagus, tapi kalau tidak taat, kita tutup usahanya,” pungkasnya.
Disisi lain, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kakanwil DJP Bali Nurbaeti Munawaroh, menyebutkan PPh atau Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap penjual suatu obyek. Namun, BPHTB itu bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dikenakan oleh Pemerintah Daerah kepada pembeli.
“Sebenarnya berbeda subyeknya. Pajak Penghasilan, betul khan kalau yang jual dapat penghasilan dari jual rumahnya. Itu yang dipajaki, sifatnya final. Namun, BPHTB obyeknya pajak daerah untuk pembeli, ketika dia memperoleh hak dari pengalihan tanah dan bangunan itu, karena dia beli. Jadi, bea atas pembelian suatu obyek. Jadi, itu beda tidak double,” terangnya.
Namun, prakteknya di masyarakat seolah-olah sama, karena terkadang penjual tidak mau tanggung PPh, tetapi hal itu masalah pembahasaan saja. Secara prinsipnya, pengenaan pajaknya berbeda. “Itu dua subyek yang berbeda, antara penjual dan pembeli,” tambahnya.
Sebelum dikeluarkan PP Nomor 34 tahun 2016, Pajak Penghasilan dikenakan tarif 5 persen dari total transaksi. Setelah itu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 menurunkan tarifnya menjadi 2,5 persen. Kenyataannya, penerimaan pajak terus meningkat.
“Turun ya dari 5 persen menjadi 2,5 persen, tapi jangka panjangnya membuat masyarakat terdorong untuk patuh melaporkan pajak sesuai dengan nilai sebenarnya, sehingga kalau DPP-nya benar berdasarkan transaksi sebenarnya maka DPP besar. Jadi, 2,5 persen dari DPP yang besar menjadi sama atau bahkan lebih tinggi,” sebutnya.
Dimulainya aturan PPh dari 5 persen menjadi 2,5 persen melalui PP 34 tahun 2016 membuat transaksi pengalihan tanah dan bangunan itu menyumbang kontribusi relatif besar terhadap penerimaan pajak secara nasional berupa PPh.
Menyikapi sudah turun 2,5 persen, DJP itu memiliki fungsi, dimulai dari masa edukasi dulu. Jika masyarakat patuh maka suasana akan nyaman.
“Kita kasi tahu 2,5 persen transaksi sebenarnya ya. Kalau Rp 1 Milyar jangan dikecilin jadi Rp 500 Juta. Dengan diedukasi begitu, masyarakat mau, itu selesai, tidak ada masalah,” tambahnya.
Kemudian, saat diedukasi tidak dipatuhi oleh masyarakat, maka pihaknya menaikkan ke fungsi pengawasan.
“Kita konfirmasi nie. Khan sering dengar ya, dapat surat cinta dari kantor pajak, surat himbauan. Sebenarnya itu sifatnya klarifikasi atas data yang kami miliki. Benar ngk sich, Bapak/Ibu. Kami punya data transaksi Bapak/Ibu bukan Rp 500 Juta lho, tapi transaksinya Rp 1 Milyar. Kami klarifikasi dulu. Nanti Wajib Pajak akan menanggapi dan diberikan waktu,” paparnya.
Ketika Wajib Pajak juga menyanggah dan ngotot bahwa transaksinya misalnya Rp 500 Juta. Padahal, pihaknya mempunyai data Rp 1 Milyar di pengawasan dihimbau seperti itu, mereka masih berkelit, maka pihaknya menaikkan ke fungsi pemeriksaan.
“Kami turun periksa. Kalau periksa kami tetapkan, ada kurang bayar dari leasing yang dia tidak laporkan tadi dan naikkan ke penegakan hukum atas ketentuan yang tidak dijalankan,” tambahnya.
Selain melakukan fungsi pengawasan, pihaknya juga melayani kewajiban perpajakan dan administrasi wajib pajak. “Itu tidak serta merta periksa, tapi dimulai dari edukasi dulu, tidak mempan lanjut ke pengawasan. Ngk mempan periksa, bandel lagi penyidikan berupa pidana perpajakan,” paparnya.
Meski demikian, pihaknya berharap masyarakat Bali lebih edukatif, apalagi indeks IPM nomor satu secara Nasional teredukasi dengan baik, sehingga kesadaran masyarakat Bali tentang pajak lebih dipahami dan rasanya lebih mudah untuk mengajak masyarakat Bali, untuk mematuhi pajak sehingga pihaknya tidak perlu melakukan kegiatan lawyer postman atau penegakan hukum.
“Tapi kami tetap tegakkan hukum bagi Wajib Pajak yang memang tidak mau patuh bayar pajak, untuk memberikan rasa keadilan kepada semuanya,” pungkasnya. (ace).