Berita

Ketut Kandra, Seniman Tua di Jembrana Ternyata Warga Kurang Mampu

JEMBRANA, jarrakposbali.com ! Ketut Kandra, seniman tua yang aksinya menjadi viral di akun tiktok lantaran memainkan tiga alat musik gambelan dan satu suling bambu sekaligus dalam sebuah pertujukan, ternyata meruapak warga kurang mampu.

Lelaki berusia 82 tahun, warga Banjar Pangkung Languan, Desa Yehsumbul, Kecamatan Mendoyo Jembrana ini ternyata tinggal menumpang di tanah milik warga.

Beruntung, pemerintah desa setempat memberikannya bantuan berupa dana servis rumah, sehingga dia memiliki rumah yang lebih layak untuk ditempati.

Advertisement

Di rumah sangat sederhana, maestro seni tabuh Bali ini hanya tinggal dengan Ni Wayan Larmi, istri tercintanya yang kini berusia 78 Tahun. Sementara empat anaknya semua perempuan dan telah menikah, dua diantaranya sudah meninggal dunia.

Kesehariannya, seniman tabuh sejati ini hanya bekerja sebagai buruh tani. Membersihkan kebun milik warga sekitar dan memelihara sapi milik orang lain dengan upah jauh dari cukup.

Namun demikian pria yang mulai terganggu pendengarannya ini selalu bersemangat menjalani hidup. Demikian halnya kiprahnya di seni tabuh Bali sudah sangat mendarah daging. Sesibuk apapun dia jika kelompok seninya tampil di acara apapun dia selalu hadir menabuh.

Tidak tangung-tanggung, di setiap pertunjukan seni, dia selalu memegang empat alat musik tradisional Bali. Ini dilakukannya karena kelompok seninya kekurangan personil atau penabuh, lantaran minimnya minat generasi muda menekuni seni tabuh tradisional Bali.

Ketut Kandra mengisahkan kiprah dirinya di dunia seni tabuh dimulai sejak usia 8 tahun. Kemahirannya memainkan berbagai jenis alat musik tabuh tradisional Bali terjadi secara otodidak.

Kemudian di tahun 1948, dia sudah resmi tergabung di kelompok seni di desanya. Baik itu sekaa gong, sekaa angklung, sekaa bungbung hingga drama gong dan janger.

Bahkan kiprahnya di dunia seni tabuh telah mengantarkan desanya meraih juara 1 lomba joged bungbung tingkat kabupaten di tahun 1960. Sebagai bentuk apresiasi kiprahnya di dunia seni, di desanya kemudian dibangun patung joged bungbung yang tetap berdiri kokoh hingga sekarang.

“Waktu itu sekitar tahun enam puluhan, saya ikut lomba jogeg bumbung antar desa di Kabupaten Jembrana. Saya ikut menabuh, kami latihan keras karena kehormatan bisa mewakili desa. Astungkare kami juara 1 tingkat kabupaten,” tuturnya dalam bahasa Bali halus, Senin (27/3/2023).

Saking cintanya dengan dunia seni tabuh tradisional Bali, Ketut Kandra bahkan bergabung di banyak group kesenian atau sekaa gambel dari luar desanya. Padahal untuk sehari tambil menabuh, dia hanya mendapat imbalan paling bangak Rp 100 ribu saja.

“Sehari menabuh, biasanya dibayar paling banyak seratus ribu rupiah. Tapi bukan upah yang menjadi ukurannya, namun saya bemar-benar cinta dengan seni tabuh,” ujarnya.

Meskipun dibayar sangat murah, namun karena kecintaannya terhadap seni tradisional Bali sangat tinggi, dia rela melakoninya meski usianya sudah sangat sepuh. Baginya menekuni dunia seni tabuh bukan untuk mencari harta, tapi untuk mempertahankan dan mengembangkan seni tradisional Bali. Menabuh gambelan merupakan kepuasan tersendiri baginya.

Sayangnya, meskipun hidupnya dia abdikan sepenuhnya terhadap dunia seni tabuh tradisional Bali, ternyata tidak membuatnya hidup berkecukupan. Malah sebaliknya, dia hidup serba kekurangan.

Demikian halnya belum ada sentuhan apapun dari pemerintah atas jasanya di dunia seni, termasuk penghargaan seni belum pernah diterimanya. Namun itu bukan hambatan baginya untuk terus berkarya dan berkarya, meskipun usianya telah renta.

Perbekel Yehsumbul I Putu Gede Diantariksa dikonfirmasi jarrakpos.com mengatakan, Ketut Kandra memang warganya yang mengabdikan dirinya di dunia seni tabuh tradisional Bali.

Menurutnya kiprahnya di dunia seni tabuh dilakoninya sejak masih kecil dan hingga kini masih dijalaninya. Ketut Kandra menurutnya juga sudah sering berpartisipasi di desa dibidang seni tabuh.

“Saya sangat salut sama beliau. Meskipun usianya sudah sepuh dan hidup kekurangan dia selalu berkarya di dunia seni tabuh. Ini hendaknya menjadi contoh bagi generasi muda agar mengikuti jejak beliau melestarikan seni budaya Bali,” ujar Diantariksa.

Diantariksa tidak menampik bahwa warganya itu tergolong kurang mampu. Makanya, pemerintah desa telah berusaha membantunya dengan memberikan bantuan dana penyervisan rumah. Sehingga rumah yang ditempatinya sekarang lebih layak.

“Saya sebagai pemerintah desa mengharapkan perhatian pemerintah kabupaten ataupun provinsi, agar ada penghargaan buat beliau di bidang seni karena beliau benar-benar berkiprah nyata di dunia seni tabuh tradisional Bali,” tutupnya.(dewa darmada)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button