Filosofis Galungan Tegakkan Dharma

Jbm.co.id-DENPASAR | Hari Raya Galungan kembali dirayakan pada 2 Agustus 2023 bertepatan dengan bulan Kemerdekaan Bangsa Indonesia ke-78 tahun.
Menjelang Hari Raya Galungan, Masyarakat Hindu Bali akan direpotkan lagi dengan persiapan bahan banten berupa sarana upacara, seperti buah-buahan, jajan khas persembahan, janur bahan banten, daging (babi dan ayam pada umumnya), bumbu-bumbuan dan kain poleng-kuning-putih sebagai bagian yang sering diperlukan menjelang Hari Raya Galungan.
Bahkan, Perempuan Bali kembali mendapat peran sentral tak kalah pentingnya dengan lelaki Bali yang mulai sibuk saat menjelang Penampahan atau sehari menjelang puncak Hari Raya Galungan dengan mempersiapkan penjor dan penyembelihan atau pembelian hewan babi.
Dalam pelaksanaan Hari Raya Galungan, sejumlah urutan rangkaian upacara dilakukan yang masing-masing upacara memiliki arti dan makna tersendiri.
Umumnya, Hari Raya Galungan dimulai dari Sugihan Jawa yang dimaknai sebagai pembersihan atau penyucian segala hal di luar diri manusia. Kemudian, upacara berikutnya adalah Sugihan Bali, dimaknai sebagai pembersihan dalam diri manusia. Upacara dilanjutkan dengan Penyekeban yang dimaknai sebagai pengekangan diri hingga upacara Penyajaan yang dimaknai sebagai persiapan/pembekalan diri dalam menyongsong Hari Raya Galungan.
Rangkaian upacara berikutnya adalah Penampahan yang dimaknai sebagai persiapan yang mantap untuk menerima hari Galungan sampai kemudian hari H tiba yang disebut sebagai Hari Raya Galungan dirayakan setiap enam bulan sekali (dengan menerapkan bulan Bali yang berumur 35 hari).
Dalam perjalanannya diwarnai oleh cerita tentang sosok Maya Denawa sebagai simbol keangkaramurkaan kebatilan bertempur melawan Sangkul Putih sebagai simbol kesucian di mana yang keluar sebagai pemenang ialah Sangkul Putih.
Dari cerita ini, kemudian dimunculkan arti dari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma atau kebaikan/kesucian melawan kebatilan/keburukan. Dalam pengertian yang lain, Galungan dimaknai sebagai kemenangan umat Hindu Bali dalam melawan dirinya sendiri selama masa enam bulan (bulan Bali).
Sesuai isi lontar Sunarigama dinyatakan Galungan yang jatuh pada Budha Kliwon Dunggulan agar lebih memperhatikan hal-hal rohani, karena pada hakikatnya inilah yang paling inti dari kemanusiaan umat. Dengan memberi perhatian pada rohani akan memberi pencerahan pada umat dan mengikis hal-hal negatif dari akal pikiran dan hati manusia.
Dengan intepretasi lain, Galungan ialah pergolakan dalam diri manusia dalam memenangkan dan menegakkan rohani dalam dirinya saat mengarungi hidup ini.
Sementara itu, PHDI atau Parisadha Hindu Dharma Indonesia juga memberikan pengertian Galungan adalah piodalan jagat atau oton gumi. Secara lebih luas pengertian yang diberikan PHDI itu dimaksudkan sebagai rasa syukur umat terhadap keberkahan yang berlimpah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menciptakan dunia dengan segenap isinya. Pada saat Galungan inilah umat menghaturkan persembahan, persembahyangan dan permenungan tentang arti menjadi umat-Nya.
Sehari setelah Galungan yang disebut Umanis Galungan atau populer disebut dengan Manis Galungan adalah saat-saat saling mengunjungi antar sanak famili, tetangga, sahabat yang dapat dimanfaatkan untuk pelesiran.
Melalui pemahaman tersebut, Galungan diartikan sebagai perayaan rohani. Dalam konteks yang lebih luas, Galungan ialah momen untuk mengedepankan dharma. Berbagai pemahaman Galungan yang dijelajah dari berbagai sumber, institusi dan para penekun spiritual Hindu, meski diungkapkan dengan cara yang tak sama, namun hakikatnya satu, yakni mengedepankan keutamaan dharma/rohani/kebenaran suci dalam diri manusia.

Oleh karena itu, Galungan ialah perayaan dharma yang diwujudkan dengan berbagai implementasi kesucian, perenungan, wacana dharma dan sebagainya.
Manusia ialah ketidaksempurnaan dan selalu begitu. Inilah kenyataan yang memunculkan pergolakan terus-menerus. Kegelapan dalam diri manusia ialah pergulatan manusia untuk keluar dari kegelapan itu sendiri menuju cahaya. Inilah pertarungan manusia yang sesungguhnya. Ada banyak yang tak kuasa keluar dari kegelapan itu sendiri justru karena tak ada upaya bertarung, atau karena menjadi pecundang atas dirinya sendiri. Kekalahan inilah, sebagaimana diyakini umat Hindu,melahirkan punarbhawa sebagai kelahiran yang berulang-ulang, atau samsara, derita sepanjang kelahiran kembali.
Secara filosofis, kearifan Bali memiliki banyak sudut pandang memahami keyakinan transenden mereka. Segala segi-segi kehidupan mereka tidaklah hadir begitu saja. Setiap peristiwa yang mengenai diri manusia bukanlah kebetulan.
Selalu ada sebab akibat, selalu ada keseimbangan, selalu ada untuk meng-counter apa yang terjadi. Kesadaran inilah yang kemudian mereka munculkan sebagai pengingat, sebagai suatu kosmologi pengetahuan yang bukan saja sekadar teks-teks, simbol-simbol, tetapi alam raya keyakinan yang tertanam kuat turun-tumurun. Itulah, bagi penganut Hindu di Bali, kehidupan mereka bukan sekadar apa yang ada, melainkan apa yang unseen.
Orang-orang di luar Bali menganggap realitas dan cara orang-orang Hindu Bali menghormati realitas masih bersifat animistis, dinamistis, atau sesuatu yang illogical, primitif, tetapi bagi orang-orang Bali, realitas adalah keseimbangan antara yang nyata dan yang transenden, suatu pengakuan bahwa hidup bagi mereka ialah suatu penerimaan yang sepenuhnya imparsial. Itulah mengapa kearifan yang bertumbuh dari generasi ke generasi selanjutnya adalah penggalian dari pergumulan eksistensial mereka terhadap kehidupan ini. Kearifan mereka berasal dari nilai di sekitar mereka, dari kedalaman diri yang terus mencari.
Orang-orang Bali tahu, hidup ialah pergumulan sepanjang masa karena mereka meyakini bahwa setiap kelahiran ialah kesempatan untuk ‘memperbaiki diri’ dari kelahiran sebelumnya; setiap kehidupan yang mereka jalani adalah upaya untuk mencerahkan diri di tengah awidya (kegelapan) yang selalu menyelimuti perjalanan diri.
Oleh arena itu, manusia Bali tak hanya membangun filosofi dalam permenungan ‘hari-hari raya’, namun juga membangun kesadaran laksana dalam mewujudkan tindakan-tindakan konkret. Mereka tahu, kegelapan selalu bersemayam dalam diri yang mereka simbulkan dalam sadripu, enam godaan yang selalu menghantui setiap langkah.
Dalam pengertian awam, Sadripu ialah enam musuh dalam diri yang melekat sepanjang hayat. Bayangkan, satu musuh dalam diri sudah banyak, yang disebutkan enam adalah mengerikan. Adapun keenam musuh yang dimaksud adalah napsu (kama), tamak (lobha), marah (krodha), bingung (moha), mabuk (mada) dan iri hati (matsarya). Enam musuh ini tak ada yang asing bagi bagi kita semua. Terlihat begitu keseharian. Tapi justru hal-hal yang lumrah inilah yang mengekang kita menuju pencerahan dalam diri.
Pada kenyataannya, keenam itu begitu nyata terjadi di sekeliling kita. Bahkan dalam beberapa hal, perilaku kita melampaui keenam itu, misalnya membunuh sesama karena perilaku kriminal atau kesalahpahaman kecil atau tujuan yang lebih besar misalnya dalam ranah politik dan kekuasaan.
Manusia sesungguhnya sedang menghadapi dirinya sendiri, lawan sekaligus kawan. Inilah pertarungan sejati manusia sepanjang zaman. Pergulatan hakiki tentang menuju ke cahaya agung, yakni moksa.
Dalam pergulatan itu, manusia memiliki pegangan dharma, pijakan kebenaran rohani yang menuntun manusia kepada jalan cahaya. Tentu tak mudah karena enam musuh dalam diri manusia terlalu kuat dan dahsyat mengerubuti manusia hampir setiap detik. Dharma, yang mengimplementasikan dirinya dalam tiga laku yang disebut trikaya parisudha: pikiran-pikiran suci (manacika), perkataan-perkataan suci (wacika) dan perbuatan-perbuatan suci (kayika). Suci disini bisa diterjemahkan lebih awam, yakni, segala sesuatu yang baik atau benar. Inilah satu dari penerjemahan dharma yang menjadi pegangan umat Hindu Bali dalam pergulatan hidup mereka dengan diri sendiri.
Maka, Galungan yang dipandang sebagai kemenangan dharma, sesungguhnya adalah ikhtiar manusia menuju kepada dharma, jalan suci menuju hal-hal rohani. Dharma ialah tuntunan menuju kepada diri sejati. Jika hidup ialah kesempatan untuk memperbaiki kehidupan sebelum lahir di masa lalu (punarbhawa), maka saat hidup sekarang ini adalah kesempatan diri menjadi lebih baik, lebih indah, lebih benar, melalui jalan dharma. Bagi orang Bali, jalan dhrarma ialah keniscayaan. Karena dharma itu sendiri ialah pengejawantahan jalan Tuhan, jalan cahaya.
Inilah mengapa Galungan perlu disambut dan dirayakan dalam kaitan merujuk kepada pengingat bahwa manusia selalu bergelut dengan kegelapan. Galungan itu perayaan untuk pengingat bagi umat Hindu Bali bahwa pergulatan harus dimenangkan secara nyata. Galungan menjadi penanda atau simbol bahwa umat Hindu harus berada di sisi dharma karena dalam dirinya sendiri selalu mengintai enam musuh yang sangat berbahaya yang setiap saat menyeret manusia ke dalam kegelapan sepanjang zaman.
Bahkan, sesungguhnya Galungan itu sebagai momentum untuk memberi waktu kepada umat Hindu untuk menyentak mereka tentang betapa pentingnya memihak dharma, betapa perlunya manusia mengejar jalan dharma, betapa harus merasa terpanggil setiap hari mendalami dharma dengan cara berdoa, berperilaku baik dan bekerja, karena diakhir napas berhembus, yang terbawa dan tersisa ialah karma wesana, pertanggungjawaban setelah hidup berdasarkan semua perbuatan di masa kehidupan. Oleh karena itu, Galungan ialah pengingat bagi umat Hindu tentang upaya pendalaman dharma dalam ikhtiar menemukan diri sejati.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu I Nengah Duija mengajak umat Hindu untuk memproyeksikan semangat persatuan sebagai bagian dari dharma agama dan dharma negara.
“Galungan dan Kemerdekaan RI sama-sama bermakna kemenangan. Menjadi momentum yang tepat bagi umat Hindu untuk kembali menyulut semangat persatuan,” kata Prof Duija.
Menurutnya, umat Hindu harus memahami arti dharma agama dan dharma negara. Dharma kepada negara adalah menjaga, membela, menjunjung tinggi kehormatan negara serta mengisi kemerdekaan dengan semangat persatuan.
Demikian pula, Dharma Agama berarti menjalankan sraddha-bhaktinya kepada Ida Hyang Widhi Wasa dan mengamalkan nilai-nilai dharma secara utuh dan berimbang sesuai ajaran agama Hindu.
“Perayaan Hari Suci Galungan wujud dharma kepada agama dan peringatan kemerdekaan RI adalah dharma kepada negara, kedua swadarma ini harus dijalankan secara seimbang,” ungkapnya.
Disebutkan, dalam Lontar Tutur Kumaratatwa terdapat delapan kekuatan dalam diri manusia yang dapat membuat hidup manusia menjadi nista (papa) yang disebut Astadewi.
Selain itu, lanjutnya Hari Suci Galungan dijadikan momentum yang tepat untuk melakukan pembersihan diri.
Delapan kekuatan dalam diri yang dapat menyebabkan nista yaitu, (1) jayasdhi adalah kekuatan pikiran yang bersikukuh pada kemampuan diri berlebihan, senang dipuji, tidak suka mengalah; (2) caturasini adalah suka menghumbar kehendak, suka mencela orang lain, suka menghina orang tua, tidak mengenal tatakrama pergaulan, (3) namadewi adalah sikap sikap egois, suka mengutuk, berlagak kuasa, (4) mahakroda adalah suka marah, suka berbohong, tidak pernah berkata jujur, buta hati dan sangat kasar, (5) camundi adalah suka berkata berbelit-belit, tidak tetap pendirian, tidak berbakti, menang sendiri (6) durgadewi adalah berpikiran ruwet, tidak cermat, tidak mengenal dosa, selalu berprilaku jahat, memiliki harapan tanpa batas, (7) sirni adalah suka bersenang-senang, batinnya hampa, tidak mau berpulang pada diri sendiri, suka mengaku-aku, (8) wighna adalah penuh nafsu, suka berkata melambung tinggi, suka menghina kebaikan, selalu bingung.
Untuk membersihkan diri dari Astadewi, Lontar Tutur Kumaratattwa memberikan renungan batin dengan melakukan apa yang disebut Astalingga, yaitu (1) sudha adalah menyucikan pikiran, (2) sphatika menenangkan pikiran, (3) sunya adalah mengosongkan pikiran, (4) mahatana adalah memikirkan hal-hal yang luhur, (5) prabhaswara adalah membawa pikiran memenuhi alam semesta, (6) nirawarana adalah membawa pikiran tiada terbatas, (7) nirmala adalah menghindarkan pikiran dari hal-hal kotor dan (8) niskala adalah membuat pikiran tidak goyah.
Lebih lanjut, dijelaskan Hari Suci Galungan sebagai warisan tradisi dari leluhur Hindu nusantara harus dijaga kesucian maknanya.
“Disela-sela persembahyangan bersama Hari Suci Galungan di setiap Pura, sebaiknya disampaikan dharma wacana mengangkat makna dan filosofi Galungan dan Kuningan, agar tidak hanya semaraknya yang ramai, namun maknanya juga dipahami khususnya oleh anak-anak muda,” tambahnya.
Namun, sayangnya menjelang Hari Raya Galungan, gas elpiji 3 kilogram di pasaran Kota Denpasar kembali langka.
Padahal, kebutuhan gas 3 kg di Denpasar baru terjadi sebulan lalu, karena kendala libur panjang.
“Masalah mesti diselesaikan oleh Pemerintah. Memangnya Pemerintah ada dimana?,” tanya Putu Suasta yang juga Alumni UGM dan Cornell University, saat dikonfirmasi di Denpasar, Selasa, 1 Agustus 2023.
Bahkan, sejumlah warung sudah kesulitan mendapatkan gas untuk dijual kepada masyarakat. Hal itu tengah ramai diperbincangkan oleh masyarakat hingga media sosial.
Bahkan, pihaknya menerima informasi, bahwa sejumlah warga terpaksa harus mencari di pangkalan, juga kembali dengan tangan kosong, karena stok kosong.
“Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Semoga kita semua menjadi manusia yang lebih baik untuk hari esok yang penuh harapan,” pungkasnya. (red).